Mohon tunggu...
Deni Lorenza
Deni Lorenza Mohon Tunggu... Lainnya - penulis

Seorang penulis berdedikasi yang mengeksplorasi pengembangan diri dan perubahan hidup melalui tulisan yang inspiratif dan berbasis penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengembangkan Pola Pikir yang Tumbuh: Kekuatan "Belum" dalam Pendidikan

17 September 2024   06:00 Diperbarui: 17 September 2024   17:42 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sebuah pidato TED Talk yang terkenal, Carol Dweck memperkenalkan kita pada konsep sederhana tapi sangat kuat, yaitu "Belum". Konsep ini pertama kali digunakan di sebuah sekolah menengah di Chicago, di mana siswa yang belum lulus suatu mata pelajaran tidak diberi nilai gagal, tetapi diberi nilai "Belum". Ini mungkin terdengar sepele, tapi jika kita melihat lebih dalam, konsep ini membawa perubahan besar dalam cara kita memahami pendidikan, kesuksesan, dan kegagalan.

Dengan memberikan nilai "Belum", sekolah ini menunjukkan bahwa siswa sedang berada dalam kurva pembelajaran, bukannya mengunci mereka dalam pemikiran bahwa mereka telah gagal. Ini memberikan jalan ke depan, bukan sekadar label akhir. Jadi, apa yang dimaksud dengan pola pikir "Belum"? Bagaimana ini bisa mengubah cara kita belajar dan berkembang? Mari kita telusuri lebih jauh.

Carol Dweck berbicara tentang dua jenis pola pikir: pola pikir berkembang (growth mindset) dan pola pikir tetap (fixed mindset). Pola pikir berkembang adalah keyakinan bahwa kemampuan seseorang dapat tumbuh dan berkembang melalui usaha dan pembelajaran. Sebaliknya, pola pikir tetap adalah keyakinan bahwa kecerdasan dan kemampuan seseorang adalah tetap dan tidak dapat diubah.

Dalam penelitiannya, Dweck menemukan bahwa anak-anak yang memiliki pola pikir berkembang cenderung menyambut tantangan dengan lebih terbuka. Mereka percaya bahwa kemampuan mereka bisa berkembang dengan usaha, dan mereka lebih mungkin untuk berusaha keras ketika menghadapi kesulitan. Misalnya, mereka tidak takut untuk salah, karena mereka tahu bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Mereka menganggap tantangan sebagai kesempatan untuk tumbuh dan belajar, bukan sebagai ancaman.

Di sisi lain, anak-anak dengan pola pikir tetap cenderung melihat kesulitan sebagai sesuatu yang negatif, sebagai tanda bahwa mereka tidak cerdas atau tidak berbakat. Mereka mungkin lebih memilih untuk menyontek atau mencari cara lain untuk menghindari kegagalan. Mereka cenderung mencari seseorang yang lebih buruk performanya daripada mereka, hanya untuk merasa lebih baik. Pola pikir ini membuat mereka stagnan, terjebak dalam ketakutan akan kegagalan dan kehilangan kesempatan untuk berkembang.

Temuan menarik lainnya dari penelitian ini adalah bagaimana otak merespons kesalahan berdasarkan pola pikir. Para ilmuwan menemukan bahwa siswa dengan pola pikir berkembang menunjukkan lebih banyak aktivitas otak ketika mereka melakukan kesalahan. Ini menunjukkan bahwa mereka lebih terlibat dalam belajar dari kesalahan mereka. Sebaliknya, siswa dengan pola pikir tetap cenderung menghindari kesalahan dan tidak mau terlibat dalam proses pembelajaran lebih lanjut.

Dweck juga mengkritik fokus budaya kita yang berlebihan pada kesuksesan instan seperti nilai, penghargaan, dan pencapaian langsung. Banyak orang tua, guru, dan masyarakat secara keseluruhan lebih sering memberikan pujian untuk kecerdasan atau bakat, bukan pada usaha, strategi, atau ketekunan. Akibatnya, banyak anak yang tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka harus selalu mendapatkan hasil yang sempurna untuk dianggap berhasil. Hal ini berdampak ketika mereka masuk ke dunia kerja, di mana mereka sering merasa tidak siap menghadapi kritik atau tantangan tanpa pujian atau validasi yang terus-menerus.

Jadi, bagaimana kita bisa mulai mengubah cara berpikir ini? Carol Dweck menyarankan agar kita mulai dengan memberi pujian yang tepat. Daripada memuji kecerdasan atau bakat, kita harus memuji prosesnya. Fokus pada usaha, strategi, dan ketekunan anak. Misalnya, jika seorang anak mendapatkan nilai bagus di sekolah, alih-alih mengatakan "Kamu memang pintar," kita bisa mengatakan "Kamu bekerja keras dan benar-benar belajar, itu luar biasa."

Selain itu, Dweck bekerja sama dengan ilmuwan permainan untuk menciptakan permainan edukatif yang merangsang pola pikir berkembang. Alih-alih hanya memberikan penghargaan untuk jawaban yang benar, permainan ini memberi penghargaan untuk usaha, strategi, dan kemajuan. Ini membuat anak-anak lebih terlibat dan gigih, karena mereka belajar menghargai proses belajar itu sendiri, bukan hanya hasil akhirnya.

Bukti keberhasilan pendekatan ini dapat dilihat di berbagai sekolah di seluruh Amerika Serikat, mulai dari Harlem, Bronx Selatan, hingga reservasi penduduk asli Amerika. Di sekolah-sekolah ini, siswa yang diajarkan dengan pola pikir berkembang menunjukkan peningkatan signifikan dalam performa akademik mereka, bahkan selama masa transisi yang sulit. Anak-anak ini mulai melihat kesulitan bukan sebagai penghalang, tetapi sebagai tantangan yang bisa diatasi.

Di akhir pidatonya, Dweck mengajukan argumen yang kuat bahwa pola pikir berkembang harus dianggap sebagai hak dasar manusia. Mengapa? Karena ini mengubah cara anak-anak melihat usaha dan kesulitan, dari sesuatu yang negatif menjadi kesempatan untuk tumbuh. Ketika anak-anak belajar bahwa otak mereka dapat membentuk koneksi baru dan lebih kuat saat mereka belajar sesuatu yang baru dan menantang, mereka menjadi lebih termotivasi dan lebih mampu menghadapi tantangan.

Bayangkan jika kita semua bisa melihat kegagalan bukan sebagai akhir, tetapi sebagai "belum". Bayangkan dunia di mana setiap anak merasa mampu untuk belajar dan berkembang, tidak peduli seberapa sulit tantangan yang mereka hadapi. Ini adalah dunia di mana pola pikir berkembang menjadi dasar untuk semua, memberikan setiap anak kesempatan untuk mewujudkan potensi penuh mereka.

Dweck mengajak kita semua untuk mulai menciptakan lingkungan yang mendukung pola pikir berkembang. Sebagai orang tua, guru, dan anggota masyarakat, kita harus mulai menghargai usaha dan ketekunan lebih dari sekadar hasil akhir. Kita harus mengajarkan anak-anak bahwa "belum" adalah bagian dari perjalanan mereka menuju keberhasilan. Ini adalah cara kita membangun generasi yang lebih tangguh, lebih inovatif, dan lebih siap menghadapi tantangan di masa depan.

Jadi, mari kita mulai menggantikan "gagal" dengan "belum". Mari kita ubah cara kita berbicara tentang kesuksesan dan kegagalan. Dan yang paling penting, mari kita berikan kesempatan pada setiap anak untuk berkembang dengan cara mereka sendiri, dengan pola pikir yang berkembang, yang melihat setiap kesulitan sebagai peluang untuk tumbuh dan belajar.

Konsep sederhana "belum" dari Carol Dweck tidak hanya mengubah cara kita memandang pendidikan, tetapi juga mengubah cara kita memandang hidup. Dengan pola pikir berkembang, kita tidak hanya menjadi lebih baik di sekolah atau di tempat kerja, tetapi juga menjadi lebih baik dalam menjalani hidup kita sehari-hari. Jadi, jangan takut dengan kata "belum". Sebaliknya, rangkulah itu, karena di balik setiap "belum" ada potensi untuk tumbuh, belajar, dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun