Mohon tunggu...
Deni Lorenza
Deni Lorenza Mohon Tunggu... Lainnya - penulis

Seorang penulis berdedikasi yang mengeksplorasi pengembangan diri dan perubahan hidup melalui tulisan yang inspiratif dan berbasis penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengungkap Peran Testosteron: Bagaimana Hormon ini Membentuk Perilaku Kita

3 September 2024   18:04 Diperbarui: 3 September 2024   18:09 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Testosteron, sebuah hormon yang mungkin sudah sering kita dengar, memiliki peran besar dalam menentukan banyak aspek dari tubuh dan perilaku manusia. Meskipun hadir dalam kedua jenis kelamin, testosteron lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Kita mungkin mengenalnya sebagai hormon yang mempengaruhi ciri fisik seperti ukuran tubuh atau pertumbuhan rambut, tetapi tahukah kamu bahwa testosteron juga mempengaruhi cara kita berperilaku dan bahkan fungsi otak kita?

Seorang ahli endokrinologi perilaku telah menghabiskan lebih dari 20 tahun mempelajari bagaimana hormon, terutama testosteron, mempengaruhi perilaku kita. Dia mengamati bahwa hormon ini memiliki dampak signifikan dalam menjelaskan mengapa laki-laki dan perempuan sering menunjukkan perilaku yang berbeda. Misalnya, mengapa anak laki-laki cenderung bermain dengan cara yang lebih agresif atau kasar dibandingkan anak perempuan? Banyak penelitian menunjukkan bahwa testosteron adalah salah satu faktor utamanya.

Melalui berbagai studi, ditemukan bahwa testosteron mempengaruhi pola permainan dan perilaku tidak hanya pada manusia, tetapi juga pada hewan. Contohnya, pengamatan pada simpanse di Uganda menunjukkan bahwa simpanse jantan, seperti manusia, terlibat lebih sering dalam permainan kasar dan agresif. Perilaku ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dihasilkan oleh tekanan evolusi yang mendorong hewan jantan, termasuk manusia, untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan mencapai dominasi sosial. Jadi, melalui permainan yang tampak kasar ini, mereka sebenarnya sedang melatih kemampuan penting yang akan berguna dalam kehidupan dewasa mereka.

Anak laki-laki manusia, misalnya, sering bermain lebih keras karena mereka sedang mengembangkan keterampilan yang mungkin berguna di masa depan untuk bertahan hidup atau menarik pasangan. Sebaliknya, anak perempuan cenderung menunjukkan preferensi untuk permainan yang lebih mengasuh atau peduli, seperti bermain dengan boneka atau berperan sebagai pengasuh. Ini bisa jadi mencerminkan peran evolusi yang berbeda yang dimainkan oleh perempuan, yang lebih banyak berfokus pada merawat keturunan dan menjaga hubungan sosial.

Tidak hanya itu, berbagai studi ilmiah juga memberikan bukti konkret tentang bagaimana testosteron memengaruhi perilaku. Misalnya, penelitian pada hewan menunjukkan bahwa ketika tingkat testosteron diubah selama perkembangan, pola permainan mereka juga berubah. Meningkatkan kadar testosteron cenderung menyebabkan lebih banyak permainan kasar, sedangkan menghambatnya menghasilkan permainan yang lebih tenang. Pola yang serupa juga ditemukan pada manusia; anak perempuan yang terpapar testosteron lebih tinggi di dalam kandungan lebih cenderung menunjukkan preferensi untuk bermain kasar seperti anak laki-laki.

Namun, diskusi tentang perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin ini seringkali tidak lepas dari kontroversi budaya. Di zaman sekarang, di mana isu-isu tentang gender dan identitas menjadi semakin penting, banyak orang merasa terganggu atau bahkan terluka dengan pembahasan tentang perbedaan biologis ini. Sang ahli endokrinologi ini menyadari betapa pentingnya mendekati sains ini dengan belas kasih dan pemahaman, tanpa mengabaikan fakta-fakta ilmiah yang ada.

Salah satu topik yang sering menjadi perdebatan adalah konsep "maskulinitas toksik" yang menganggap bahwa permainan kasar pada anak laki-laki memperkuat perilaku maskulin yang negatif. Tetapi, melalui penelitiannya, dia menemukan bahwa melarang atau mengurangi permainan alami ini justru dapat menghasilkan efek sebaliknya. Pada hewan, ketika mereka dilarang bermain dengan cara yang alami bagi mereka, justru muncul agresi yang lebih besar, bukan sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa permainan kasar sebenarnya adalah perilaku yang sehat dan alami, yang seharusnya tidak perlu dihentikan.

Selain itu, budaya juga memainkan peran besar dalam membentuk perilaku manusia. Sebagai contoh, meskipun hormon testosteron adalah sama, pria di Kanada ternyata lebih tidak agresif dibandingkan dengan pria di Amerika Serikat. Perbedaan ini lebih banyak disebabkan oleh faktor budaya daripada kadar testosteron. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun hormon memainkan peran besar dalam membentuk perilaku, pengaruh budaya tidak bisa diabaikan.

Jadi, di tengah segala perdebatan dan perasaan yang mungkin timbul, apa yang seharusnya kita lakukan? Sang ahli menyarankan agar kita lebih terbuka dalam membicarakan ilmu tentang perbedaan jenis kelamin ini, tanpa perlu takut terhadap kontroversi. Memahami peran hormon seperti testosteron dalam membentuk perilaku tidak hanya membantu kita memahami mengapa kita berbeda, tetapi juga bagaimana kita bisa hidup lebih baik bersama-sama.

Dia juga menekankan pentingnya memberikan lebih banyak kesempatan bagi anak-anak dari semua jenis kelamin untuk bermain di luar ruangan. Permainan di luar ruangan, terutama permainan fisik, memiliki banyak manfaat, mulai dari kesehatan fisik hingga keterampilan sosial. Dengan mengizinkan anak-anak bermain dengan cara yang mereka sukai, baik itu bermain kasar atau bermain mengasuh, kita memberi mereka kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan dan potensi alami mereka.

Pada akhirnya, memahami peran testosteron dan perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin bukanlah tentang menghakimi atau menempatkan satu jenis kelamin di atas yang lain. Sebaliknya, ini tentang mengakui bahwa ada perbedaan alami yang dihasilkan oleh hormon dan bagaimana kita bisa mengintegrasikannya dalam konteks budaya dan sosial kita. Dengan pendekatan yang seimbang, yang menggabungkan fakta ilmiah dengan pemahaman budaya, kita bisa lebih menghargai keragaman yang ada di antara kita dan memanfaatkannya untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun