"Yuk, temani minum jamu. Enggak enak badan dari kemarin."
"Enggak beli obat saja di apotek? Terus istirahat."
"Sudah minum obat segala macam tapi belum ada perubahan. Kayaknya memang harus diminumin jamu deh."
Jamu. Ramuan tradisional yang dibuat dari campuran aneka tumbuhan dan akar tumbuhan yang memiliki khasiat tertentu. Biasanya dikonsumsi oleh orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan. Kemudian mengajarkannya pada anak cucu.
Bagi remaja era 90-an mendengar kata jamu pasti sudah tak asing lagi. Minum jamu pun hal yang lumrah. Sebab orang tua terutama nenek membiasakan konsumsi jamu kepada anak dan cucunya.Â
Terutama usai melahirkan bagi anak perempuan. Jadi sejak dilahirkan oleh sang ibu, seorang bayi sudah mengkonsumsi jamu lewat perantara ASI. Oleh karenanya generasi 90-an sudah familiar dengan yang namanya minum jamu.
Entah bagi generasi Z seperti sekarang. Mungkin 50:50. Lima puluh persen masih tahulah tentang jamu. Bisa jadi turut mengkonsumsi. Tapi yang lima puluh persen lagi bisa jadi tak tahu menahu.Â
Zaman boleh berubah. Modernisasi terus berjalan. Namun yang namanya jamu tradisional rasanya akan tetap dicari. Contoh kecilnya kawan saya tersebut. Tetap mencari jamu untuk urusan tak enak badan.Â
Tapi memang masih banyak yang lebih memilih jamu ketimbang obat-obatan. Pedagang jamu keliling yang menjajakan jamu godokan masih banyak terlihat. Saya pun masih berlangganan tiap pagi. Pilihan saya jamu kunyit asam atau jamu beras kencur.
Sementara itu penjual jamu yang mangkal di kios-kios juga masih ada. Banyak malahan. Nah, di kios jamu semacam inilah kawan saya mencari ramuan yang cocok untuk kondisi tubuhnya.
"Minta jamu untuk badan pegal-pegal dan kepala sakit ya?".