Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Singkong Kukus dan Sepenggal Kisah Bersama Bapak

12 Juni 2024   08:06 Diperbarui: 12 Juni 2024   08:22 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Singkong kukus dan kopi tubruk (dok. Denik)

"Ke sini cuma pesan ginian doang? Enggak Cocok sama perjalanannya."

Aku tak menyahut. Kalau langsung kujawab jadi tak enak suasana ngopinya nanti. Karena aku tahu Adrian bakal kesal dengan jawabanku. Jawaban yang menurutnya terlalu didramatisir. 

"Dasar penulis."

Begitu biasanya ia melontarkan komentar. Aku senyum-senyum saja mendengar komentarnya. Namun tidak untuk kali ini. Ya itu tadi. Bisa merusak suasana.

"Kamu mau pesan apa, Ian?" tanyaku sambil membuka-buka buku menu.

"Apa sajalah. Pilihkan saja menu yang menurutmu enak."

Kalau urusan memilih menu begini aku yang pusing. Terserah. Tapi begitu melihat menu yang datang dikomentari.

"Kok pesannya ginian sih?"

"Lha, katanya terserah aku. Gimana sih," sungutku.

"Aku pilih gudeg karena ini menu andalan di sini. Aku juga lagi kepengin. Tapi nyicipi punyamu saja ya? Aku kan sudah pesan singkong kukus dan kopi."

"Ya sudah. Kreceknya sekalian habiskan. Aku enggak suka," ujar Adrian.

"Oke."

Sore yang syahdu. Selepas hujan. Nuansa tempat makannya Jawa sekali. Menu dihadapanku sepiring singkong kukus dan secangkir kopi tubruk kesukaan bapak.

Ya, ini adalah menu kesukaan bapak. Pagi dan sore teman ngopi bapak adalah singkong kukus. Tidak pernah yang lain. Singkongnya harus yang merekah pula. Kalau singkongnya mbagel*, bapak akan misu-misu*.

"Tiap hari beli singkong kok ndak bisa membedakan mana yang empuk dan mana yang tidak?"

Meski kesal sudah capek-capek membeli dan mengukus singkongnya tetap saja dimarahi, tapi ucapan bapak benar juga. Aku yang ditugaskan membeli singkong tidak terlalu memperhatikan tekstur singkong yang empuk dan tidak.

Pokoknya ada singkong langsung beli saja. Setelah bapak marah-marah aku mulai memperhatikan dan jadi hapal jenis singkong yang empuk dan merekah saat dikukus.

"Kenapa suka sekali singkong kukus sih, Pak? Memangnya enggak bosan tiap hari makan singkong?" tanyaku suatu hari saat menemani bapak ngopi di beranda depan. Sore selepas hujan. 

Bapak terlihat menyeruput kopinya. Kemudian mengambil sepotong singkong lalu mengunyahnya perlahan.

"Kamu tahu? Singkong seperti ini merupakan makanan mewah zaman bapak kecil dulu. Zaman kondisi susah. Orang-orang cuma bisa makan tiwul dan gaplek. Bapak masih bisa makan singkong. Roti sumbu nama lainnya."

"Kalau ngomong bosan? Ya sudah sejak dulu. Wong dulu tiap hari makanan pokoknya singkong. Beras mahal. Beras dikuasai penjajah dan orang-orang kaya. Makanya bapak dendam. Bapak harus sukses dan jadi orang kaya juga agar anak cucu bisa makan nasi. Jangan seperti bapak dulu."

"Kalau sekarang singkong hanya untuk teman ngopi. Itu pun paling berapa lama sih? Umur bapak sudah berapa tinggal berapa? Bapak menikmati singkong kukus ini untuk mengenang zaman susah dulu."

"Mulakno kowe kudu* jadi orang sukses. Agar bisa makan enak dan bisa membantu orang lain yang kesusahan."

"Satu lagi. Jangan lupa dengan makananmu zaman susah. Sebab makanan tersebut kamu bisa bertahan hidup dan mengubah hidup," ujar bapak sambil memasukkan potongan singkong kukus terakhir ke mulutnya.

Nasihat yang akan kuingat dengan baik. Nasihat terakhir dari bapak. Malam setelah ngopi dan ngobrol bareng itu bapak mengeluh kepalanya sakit. Dadanya sesak. Tapi tak mau dirujuk ke rumah sakit. 

"Ambilkan air putih hangat saja. Bapak mau tidur biar tidak terasa sakit."

Dan benar. Bapak tidak merasakan sakit lagi. Selamanya. Sebab dini hari saat kubangunkan untuk salat malam, bapak sudah tak bernafas lagi. Tidur selamanya di alam keabadian. Menyusul ibu yang sudah lebih dulu berpulang.

Singkong kukus dan kopi tubruk yang kusuguhkan sore itu merupakan suguhan terakhir. Sekaligus penanda diriku yang menjadi seorang yatim piatu. 

"Aku kangen bapak. Aku ingin mengenang semua di hari berpulangnya bapak. Sambil menikmati singkong kukus dan kopi tubruk kesukaan bapak. Inilah alasanku memilih menu ini," kataku.

Adrian mengusap-usap punggung tanganku. Kemudian menggenggamnya dengan erat sambil menatapku lembut. Aku balas genggaman tangannya. Lelaki yang jadi kekasih, teman diskusi sekaligus teman berdebat menggantikan bapak. (Denik)

Note:

*Mbagel= keras

*Misu-misu= marah-marah

*Mulakno Kowe kudu= Makanya kamu harus

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun