Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengenang Pertama Kali Naik Pesawat ke dan dari Bandara Internasional Minangkabau

7 Juni 2023   02:36 Diperbarui: 7 Juni 2023   03:51 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya pose di sini dulu sebelum melanjutkan perjalanan (dokpri)

Kenangan. Peristiwa yang tak akan pernah hilang dari ingatan. Tak lekang oleh waktu. Seperti apa dan bagaimana pun sebuah kenangan itu tercipta, pasti menyisakan rasa. Kenangan manis atau pahit. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Bicara kenangan. Saya memiliki sebuah kenangan terkait penerbangan. Kenangan manis sekaligus pahit. Yaitu kenangan saat pertama kali naik pesawat. Saya pasrah kalau harus mati saat itu juga.

Peristiwa itu terjadi tahun 2015. Tiga hari menjelang 17 Agustus. Saya terbang untuk pertama kalinya ke Padang, Sumatera Barat. Tujuan utama saya adalah ke Bukittinggi. Saya ingin "Merayakan Kemerdekaan RI di Tanah Kelahiran Bung Hatta."

Ya, saya ke Bukittinggi terkait tulisan. Itulah tema yang saya angkat. Untuk menyesuaikan budget agar tidak nombok dong, saya memilih pesawat sejuta umat. Artinya pesawat yang harganya terjangkau dengan jadwal yang banyak pilihannya.

Jauh-jauh hari saya utak-atik jadwal keberangkatan supaya dapat semua. Artinya jadwal salat tidak terganggu, tiba ditujuan tidak terlalu malam. Kembali ke Jakartanya pun demikian. Tapi bisa puas eksplore daerah sana juga.

Akhirnya dapatlah jadwal cantik. Berangkat dari Jakarta sekitar pukul. 11.00 WIB. Dengan waktu penerbangan sekitarnya 2 jam. Maka perkiraan pukul 14.00 WIB tiba ditujuan. Waktu salat zuhurnya dapat. Eksplore bandara pun dapat.

Sementara jadwal kembali ke Jakarta saya cari agak malam. Dengan pertimbangan arah pulang. Pukul berapa pun tiba di rumah tak masalah. Jadilah saya mengambil jadwal pukul 19.00 WIB dari bandara Minangkabau. Perkiraan tiba di bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 22.00 WIB.

Sekitar 1 jam perjalanan ke rumah. Rasanya cukuplah untuk istirahat dan beraktivitas kembali esok harinya. Itu rencana yang saya susun. Pokoknya dapat semualah. 

Tapi manusia boleh berencana. Tuhan punya kuasa. Suka-suka Dia.

Hal itulah yang saya alami. Berangkat dari Jakarta lancar-lancar saja. Cuaca cerah, jalanan Jakarta tak padat seperti biasa. Tiba di bandara Soekarno-Hatta tidak berkejaran dengan waktu. Artinya santailah. Jadi saya juga bisa melihat-lihat sekeliling bandara dengan puas.

Karena ini kali pertama saya naik pesawat. Ke bandara Soekarno-Hatta sudah sering. Tapi sekadar menjemput atau mengantar saja. Jadi tidak masuk ke dalam.

Nah, kali ini sebagai penumpang. Sendirian pula. Rasanya campur aduk. Antara senang sekaligus bingung. Terutama saat boarding dan check in. Khawatir salah. Solusinya banyak bertanya pada petugas.

Begitu tiba waktunya untuk masuk ke dalam pesawat. Rasanya tak percaya.

"Weh, akhirnya gue merasakan naik pesawat juga kayak orang-orang."

Selama ini kalau melakukan perjalanan keluar kota lebih sering naik motor. Bus dan kereta api juga pernah. Tapi tak sesering dengan motor. Wong saya ke Surabaya saja motoran. Jadi kalau hanya ke Cirebon, Bandung dan sekitarnya ya untuk apa naik bus atau kereta. Jelas motoranlah.

Nah, untuk perjalanan ke Bukittinggi pilihannya hanya pesawat. Karena waktunya pun hanya 3 hari. Itulah dibalik kenapa akhirnya saya naik pesawat juga.

Begitu pesawat yang saya tumpangi mulai bergerak dan selanjutnya naik ke atas, saya sungguh takjub.

"Oh, begini toh rasanya take off atau lepas landas? Jantung sedikit berdesir."

Setelah ketinggian pesawat mulai berada di antara awan yang putih bersih dan langit yang berwarna biru. Saya tak putus menyebut kebesaran Tuhan. Akhirnya saya bisa melihat awan dari dekat.

Selama penerbangan dari Jakarta menuju Padang, saya tidak tidur. Melihat ke arah jendela saja. Mengagumi kebesaran Tuhan.

Inflight meal tidak diberikan untuk penerbangan kali ini. Inflight Entertainment System pun rasanya tak ada. Saya sih tak masalah. Sibuk mengagumi kebesaran Tuhan.

Pada saat pesawat mulai merapat dan akhirnya mendarat di Bandara Internasional Minangkabau, saya pun masih tak lepas memuji-muji kebesaran Tuhan.

"Oh, begini toh rasanya landing?"

Pada saat kaki saya menuruni tangga  pesawat dan melangkah perlahan ke arah kedatangan bandara internasional Minangkabau, saya sempat tak percaya. Kalau akhirnya saya menjejakkan kaki di bumi Andalas. Ini mimpi saya sejak SD.

Saya terobsesi untuk suatu ketika melihat jam gadang secara langsung. Cerita guru sejarah tentang jam gadang dan kota Bukittinggi telah menghipnotis saya kecil. Dan hari itu saya sedang menapaki mimpi tersebut.

Pengalaman selama 3 hari 2 malam di Bukittinggi sungguh luar biasa bagi saya. Sebuah mimpi yang akhir terwujud. Kini tiba saatnya untuk kembali ke Jakarta dan merajut mimpi lagi.

Sesuai jadwal yang telah ditetapkan, 3 hari berikutnya saya kembali ke Bandara Internasional Minangkabau. Kali ini untuk penerbangan pulang kembali ke Jakarta. Mendekati pukul 19.00 WIB tidak ada pemberitahuan apa-apa bagi penumpang tujuan Jakarta, perasaan saya mendadak gelisah.

"Wah, ada apa nih?"

Benar saja. Tak lama ada pemberitahuan bahwa jadwal keberangkatan ke Jakarta tertunda atau delay sekitar 2 jam.  Karena pesawat yang sudah siap terbang ke sini mengalami kendala teknis.

"Wah, berarti ada kerusakan di pesawatnya?" bisik hati saya.

Wuduh, itu pesawat yang sama untuk keberangkatan ke Jakarta. Wah, semakin tidak karuan perasaan saya. Inflight meal diberikan sebagai pengisi waktu akibat delay.

Benar saja. Ketika pesawat yang ditunggu tiba dan kita penumpang di sini tak lama diminta naik ke dalam pesawat, perasaan saya semakin tak karuan.

Selama melangkah menuju pesawat saya tak hentinya menyebut nama Tuhan. Melangitkan doa-doa yang dihapal. Jujur saya khawatir ada apa-apa dengan pesawat yang ditumpangi.

Ditambah ada penumpang balita yang menangis terus sejak masuk pesawat. Menurut kepercayaan orang tua saya,  hal tersebut menandakan kalau si bayi merasakan aura buruk.

Dan terbukti. Ketika sedang asyik-asyiknya memandang bintang-bintang dari jendela, tiba-tiba pesawat yang ditumpangi seperti anjlok atau turun dari ketinggian. Penumpang menjerit. Bahkan ada yang menangis. Jantung saya serasa mau copot.

"Ya, Tuhan. Masa iya saya harus mati dengan cara seperti ini?"

Tak lama pesawat seperti naik kembali. Tapi tak lama pula pesawat tiba-tiba oleng ke kanan, selanjutnya oleng ke kiri. Barulah tenang kembali. Wah, suasana panik melingkupi penerbangan kembali ke Jakarta malam itu.

Saya bahkan sempat menyalakan ponsel dan mengirim pesan pada keluarga. Menceritakan kondisi yang dialami. Setelah itu ponsel saya matikan. Saya memejamkan mata, pasrah atas apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah beberapa saat dan saya mengintip arah jendela kok melihat lampu kelap-kelip, perasaan saya sedikit lega. Artinya sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta.
Begitu pesawat landing dan benar-benar berhenti. Semua penumpang langsung berseru.

"Alhamdulillah."

Saya dan semuanya merasa lega setelah kurang lebih 2 jam merasakan ketegangan. Itulah pengalaman pertama saya naik pesawat ke dan dari Bandara Internasional Minangkabau, campur aduk rasanya. (EP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun