Ini efek tidak mau sarapan. Akhirnya saya katakan kondisi si kawan kepada sopir travel. Ia terlihat gusar juga. Karena memang tidak akan menjumpai warung nasi sepanjang jalur ini dalam waktu singkat.
"Sabar ya, Kak. Bisa bertahan, kan? Nanti ada satu warung nasi di daerah Kolbano," kata saya.
Waduh, saya hanya bisa berdoa dalam hati. Semoga kawan seperjalanan tidak muntah di dalam mobil. Bisa merusak mood perjalanan nih.
Syukurnya sih dia bisa bertahan. Akhirnya kita sampai juga di warung yang dimaksud. Papan nama di depan bertuliskan Rumah Makan Padang. Wah, rasanya seperti menemukan oase begitu membaca papan nama di tepi jalan tersebut.
Saya segera memapah kawan seperjalanan untuk duduk manis di dalam warung. Saya pesankan makanan dan minuman hangat. Pokoknya istirahat dulu sampai benar-benar pulih kondisi tubuhnya.
"Nikmati makanan dan minuman di sini sepuasnya Kak. Setelah ini tidak ada lagi warung yang dijumpai. Baru ada lagi setelah tiba di Atambua."
Saya pun segera memesan makanan dan minuman hangat. Padahal belum terlalu lapar. Kapan lagi makan nasi Padang di Pulau Timor.
Jangan bayangkan warung makan Padang di sini seperti yang ada di Jawa. Sangat berbeda. Kondisi warung makannya seperti rumah biasa. Di depan terdapat teras yang diisi beberapa bangku dan meja kayu panjang.
Di tengah ada satu pintu yang menuju ke dalam. Seperti ruang tamu dan ruang tengah yang dijadikan satu. Jadi terlihat luas.
Di dalamnya berjejer bangku dan meja kayu panjang juga. Di sudut kiri setelah pintu masuk ada meja dengan lemari kaca. Di situlah tempat kita memilih menu makanan.
Jadi dari luar tidak terlihat seperti rumah makan. Melainkan seperti rumah biasa yang kita jumpai di sini. Jendela rumah makan tersebut berupa kayu-kayu panjang vertikal. Benar-benar seperti rumah penduduk biasa. Tidak terlihat seperti rumah makan.