Beberapa hari yang lalu saya mengunjungi seorang teman dari Tuban yang indekos di Depok. Di sana saya disuguhi dan diberi sekotak brem.
"Cuma bawa ini Mba," ujarnya.
"Wah, kesukaanku ini Mba," kata saya yang langsung mencomot sepotong brem dan memasukkannya ke mulut.
Sensasi "semriwing" langsung terasa di lidah begitu sepotong brem mendarat di mulut. Sensasi yang saya sukai sejak pertama kali mencicipi brem di Kota Surabaya.
Saya yang melewati masa kecil di sana kerap mendapat oleh-oleh brem dari bude yang tinggal di Magetan. Sejak itu brem menjadi salah satu makanan kesukaan saya.
Ketika saya ke Jakarta, Brem menjadi oleh-oleh yang selalu dibawa  oleh bapak usai mengunjungi sanak-saudara di Jawa Timur. Dalam kurun waktu setahun atau 2 tahun sekali, bapak pasti pulang ke Surabaya. Menjenguk bude di sana atau ke Kediri dan Magetan.
Saat saya sudah boleh bepergian sendiri, bapak tak lagi bepergian ke Jawa Timur. Sebagai gantinya, saya yang diutus ke sana kala libur sekolah. Kereta ekonomi menjadi pilihan saya. Selain lebih murah, banyak pedagang asongan yang masuk di setiap pemberhentian kereta.
Kala itu saya sangat menyukai suasana tersebut. Sebab apa? Saya tak perlu repot-repot mencari oleh-oleh. Cukup duduk manis di kereta lalu mendengarkan para pedagang menjajakan dagangannya. Kualitas dan rasa belum menjadi prioritas. Namanya juga anak-anak. Yang penting membawa oleh-oleh.
Nah, saya tinggal memilih akan membeli oleh-oleh dari daerah mana. Disesuaikan dengan jalur kereta api yang saya pilih. Lewat jalur Utara atau jalur Selatan. Ingin wingko Babat atau wingko Semarang. Ingin membeli keripik belut dari Yogyakarta atau tidak. Yang pasti oleh-oleh Brem tidak boleh terlupakan.
Selama masih di wilayah Jawa Timur biasanya masih banyak pedagang di dalam kereta yang menjajakan brem. Brem bentuk padat aslinya memang dari Madiun. Meski di beberapa daerah ada juga yang memproduksi brem. Seperti Yogyakarta.
Saya senang sekali jika kereta sedang berhenti di salah satu stasiun. Itulah saatnya saya berburu makanan untuk oleh-oleh. Di sisi lain padatnya penumpang kereta api ekonomi ditambah masuknya para pedagang, membuat suasana kereta api tidak nyaman.
Namun di sisi lain cukup menyenangkan dalam urusan makanan. Pedagang apa saja bisa kita jumpai. Itulah sensasi naik kereta api ekonomi zaman lampau. Sumpek tapi seru dan lucu juga kalau diingat kembali. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H