Darah dan Doa. Film nasional pertama yang diproduksi tahun 1950. Tepatnya pada tanggal 30 Maret 1950. Garapan sutradara Usmar Ismail.
Tanggal tersebut kini diperingati sebagai Hari Film Nasional. Sebagai penikmat film tentu saja saya penasaran dan ingin sekali menonton film Darah dan Doa.
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Sedang ingin menonton eh, KOMiK Kompasiana mengadakan event nobar film tersebut. Langsung saja saya mendaftarkan diri untuk menjadi salah satu peserta.
Betapa beruntungnya saya, sebab tak hanya terwujudnya keinginan untuk menonton film nasional pertama, tapi juga bertemu dan mendengarkan langsung kisah tentang Usmar Ismail dari anak dan cucu beliau.
Dari sang anak, bapak Nureddin Ismail, saya jadi mengetahui bagaimana film tersebut digarap. Salah satunya sempat kekurangan modal. Untungnya banyak yang membantu sehingga film Darah dan Doa berhasil diselesaikan.
Terkait filmnya sendiri, saya kira sangat menarik. Sebuah film perjuangan, yang mengisahkan tentang perjalanan prajurit Divisi Siliwangi dari Yogyakarta kembali ke pangkalannya di Jawa Barat.  Banyak  nilai kemanusiaan yang bisa kita petik.Â
Karena pada dasarnya film ini menitikberatkan pada sifat si tokoh utama yakni Sudarto. Yang memimpin perjalanan pasukan tersebut.
Perjalanan yang cukup jauh dalam situasi yang belum aman menimbulkan berbagai masalah dan konflik. Belum lagi kepribadian Sudarto yang peragu dan kerap bingung. Ia yang sudah memiliki istri dan anak justru jatuh cinta dengan gadis Jerman di pengungsian.
Belum lagi teman sejawat yang tidak suka melihat tingkah Sudarto. Kelompok pribumi yang menjadi musuh sendiri. Serta kehadiran seorang perawat yang memikat hati Sudarto juga.
Dengan berbagai permasalahan yang dihadapi, seperti apa nasib Sudarto selanjutnya? Jawabannya ada di akhir film.
Inilah hal-hal yang bisa saya simpulkan usai menonton film Darah dan Doa: