Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gaya Hidup, Lingkungan Sekitar, dan Pola Pikir Orangtua Jadi Faktor Penghambat Pendidikan Perempuan

7 April 2021   22:06 Diperbarui: 7 April 2021   22:16 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat mengetahui bahwa pendidikan bagi anak perempuan di Indonesia bukanlah skala prioritas, saya tidak merasa terkejut lagi. Sebab pernah berada di lingkungan seperti itu. Rasanya prihatin sekali. Padahal bukan saya yang mengalami sendiri.

Maksudnya bukan saya yang terkungkung dan terhambat pendidikannya. Melainkan sanak saudara di desa. Saya sendiri sejak kecil sudah tinggal di kota. Jadi setiap tahun mudik mengunjungi sanak saudara di kampung.

Dari situlah saya mengetahui bahwa cara pandang keluarga di sana sangat berbeda sekali terhadap pendidikan. Terutama terhadap anak perempuan. 

"Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi? Ujung-ujungnya ke dapur juga. Yang penting bisa baca tulis." 

Ya, ampun. Untungnya orang tua saya tidak seperti itu. Mereka justru memberi pandangan dan wawasan yang luas tentang pentingnya pendidikan. Pasti sedih sekali anak yang orang tuanya berpikiran demikian. Pikir saya.

Ternyata tebakan saya salah. Ketika saya berkumpul dengan mereka yang seumuran. Saat itu saya masih kelas enam SD. Begitu saya tanyakan, mereka akan melanjutkan SMP di mana? Saya ditertawakan. 

"SMP? Kita sih habis kelulusan ini mau ke Jakarta atau ke Tangerang untuk kerja. Enggak melanjutkan sekolah lagi."

Saya bengong. 

"Kerja apa? Memang enggak pengin sekolah lagi?"

"Penginnya sih di pabrik aja. Tapi kalo enggak bisa ya di perumahan juga enggak apa-apa."

Lagi-lagi saya bengong. Sempat bingung. Kerja di perumahan itu maksudnya apa? Setelah saya tanyakan pada orang tua. Rupanya kerja jadi asisten rumah tangga. Oalaaah, saya pikir apa?

"Sekolah itu capek. Nunggu kelulusan SD aja rasanya lama banget. Cuma butuh ijazahnya aja sih. Karena untuk kerja di pabrik harus ada ijazahnya."

Astaga. Saya kaget mendengar penuturan mereka. Jadi perjuangan RA Kartini terhadap kaum perempuan belum sepenuhnya selesai. Bahkan di zaman modern seperti sekarang ini masih ada orang tua yang memiliki pola pikir sempit.

"Percuma anak perempuan di sekolahkan tinggi-tinggi. Nantinya yang diurus enggak jauh dari dapur, sumur dan kasur."

Dengan pandangan orang tua yang demikian itu otomatis si anak merasa percuma juga sekolah. Akhirnya timbul rasa malas. Kalau sudah seperti itu, jangankan mengejar prestasi. Berangkat sekolah pun enggan. Yang ada dipikiran bagaimana caranya agar bisa segera bekerja dan memilki uang sendiri.

Hal tersebut terkait gaya hidup yang mereka lihat di televisi dan lingkungan sekitar. Biasanya mereka yang sudah bekerja, saat pulang kampung penampilannya glamour. Barang-barang yang dibawa serba baru. Belum lagi kondisi rumah yang saling bersaing satu sama lain agar terlihat modern.

Maka ketika hari raya mereka saling mengunjungi. Topik pembicaraan tak jauh dari barang-barang mewah yang sudah dibeli atau akan dibeli. Mereka yang masih bersekolah jadi ingin cepat-cepat lulus dan ikut bekerja di kota. 

Bahkan ada yang belum lulus sudah nekat berhenti sekolah demi bisa ikut bekerja. Bisa lulus SMP sudah termasuk bagus. Kondisi semacam itu sulit diberantas. Sebab turun temurun cara pandang yang diberikan sama. 

Sejujurnya kasihan melihat perempuan-perempuan seperti itu. Kemewahan dan harta itu kan tidak abadi. Pada saat mereka menikah dan memiliki anak. Tidak semuanya bisa mempertahankan pekerjaannya. Akhirnya hanya mengurus suami dan anak. Kalau suaminya mapan dan baik-baik saja. Makan amanlah kehidupannya. 

Nah, bagi yang tidak baik-baik saja ini yang memprihatinkan. Dianya sudah tidak bekerja. Eh, suami tidak bekerja juga. Entah kena PHK atau terkena musibah sehingga mengalami kelumpuhan. Istri ingin bekerja tapi bingung kerja apa? Ingin buka usaha tak punya keterampilan dan tak punya modal. Kalau sudah begini hidup segan mati tak mau. 

Potret kehidupan semacam itu masih banyak dijumpai. Bahkan di lingkungan kita sendiri. Padahal ilmu dan keterampilan yang dimiliki merupakan kekayaan hakiki. Sampai kapan pun akan tetap bermanfaat dan abadi. Jika mereka mau berpikir panjang demi masa depan. 

Sayangnya masih banyak yang tak menyadari hal tersebut. Jika saja Kartini masih ada. Tentu ia akan bersedih melihat kaumnya yang tak mau memperjuangkan nasibnya. Semoga kita tidak termasuk  perempuan yang demikian itu. Pendidikan sangat penting bagi perempuan. Sebab ibu yang adalah perempuan. Merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. (EP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun