Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

[Nostalgia] Ada Cinta Monyet di Jajanan Terang Bulan Kampung

7 Februari 2021   07:20 Diperbarui: 7 Februari 2021   08:36 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak cara untuk mengenang masa kecil. Salah satunya dengan kuliner di tempat kita jajan waktu kecil. Biasanya di sekitar sekolahan. Terutama Sekolah Dasar. Namun sejak pandemi tak ada lagi sekolah tatap muka. Praktis tak ada pedagang yang berjualan di sekitar sekolah.

Suatu hari saya melihat pedagang kue terang bulan yang sedang mangkal di dekat lapangan. Ketika saya perhatikan dengan jelas ternyata tukang kue terang bulan zaman saya SD. Ya, ampun sudah lama sekali dan si bapak penjualnya masih ada.

Saya pun segera mendekat dan berniat membeli kue terang bulan tersebut. Meski awalnya sempat ragu. Dalam kondisi seperti ini jajan di tempat terbuka rasanya kok was-was. Namun didorong rasa tak percaya karena menjumpai jajanan masa kecil. Serta melihat dagangan pak tua yang nampak sepi. Akhirnya bismillah saja. Semoga tidak apa-apa. Saya pun segera menghampiri dagangannya.

"Pak, beli martabak manisnya lima saja ya?" 

Martabak manis adalah nama lain kue terang bulan. Dulu saya menyebutnya kue terang bulan. Namun kini orang lebih mengenalnya dengan nama martabak. Kalau yang rasanya manis disebut martabak manis. Kalau yang gurih namanya martabak telur.

Kembali ke pak tua pedagang kue terang bulan tadi. Sambil menunggu pesanan saya selesai. Saya ajak si pak tua ngobrol.

"Bapak kalau enggak salah yang biasa mangkal di SD Joglo ya?" tanya saya.

"Betul Neng. Saya mangkal di sana dari tahun 80-an. Dari sekolahannya masih jelek sampai sekarang udah bagus banget."

Berarti memang benar. Si pak tua ini langganan saya zaman kecil. Jajanan favorit saya dulu.

Dokpri
Dokpri

"Sekarang enggak mangkal lagi, Pak?" tanya saya lagi.

"Masih. Cuma kan sekarang belajarnya pada online. Jadinya enggak ada yang ke sekolah. Ya saya keliling kampung aja," sahut pak tua tersebut.

Pantas ketemu di sini pikir saya dalam hati. Kasian juga sih jadi keliling kampung. Namun ada hikmahnya juga. Saya jadi bisa bernostalgia dengan jajanan masa kecil.

"Terus bagaimana pak? Ramai yang membeli?" 

"Alhamdulillah habis terus Neng. Cuma ya gitu harus keliling. Kalau dulu kan enggak. Anak-anak yang mengerubungi. Apalagi kalau jam istirahat," sahut pak tua.

Iya, ya. Pasti beda suasananya. Yang penting masih lancar dan bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup kata saya dalam hati.

Kue terang bulan ini hampir sama dengan martabat manis yang dikenal sekarang. Hanya tampilan dan ukurannya yang berbeda. Kalau martabak manis yang kita kenal sekarang ini ukurannya lebih tebal dan tampilannya bermacam-macam.

Dokpri
Dokpri
Sedangkan kue terang bulan kampung yang saya beli ini bentuknya sederhana saja. Hanya lipatan tipis dari cetakannya yang berbentuk lingkaran. Untuk isiannya pun biasa saja. Hanya taburan kacang yang sudah dihaluskan, mesis dan gula putih. Ukurannya pun tipis. Tidak setebal martabak yang biasa kita makan sekarang. Makanya disebut kue terang bulan kampung atau martabak kampung.

Kue terang bulan kampung ini dijajakannya dengan keliling kampung. Ada juga yang mangkal di suatu tempat seperti pak tua ini yang biasa mangkal di sekolahan. Biasanya mereka berjualan pada pagi hari sampai siang hari. Sasarannya memang anak-anak yang sedang istirahat sekolah atau bermain di lapangan. Harganya pun sangat terjangkau. Hanya dua ribu rupiah. 

Soal rasa? Tergantung selera. Menurut saya sih standarlah. Lumayan enak dengan harga sekian rupiah. Menurut saya kenangan bersama kue terang bulan yang kerap memunculkan kerinduan untuk mencicipi kue ini lagi.

Bagaimana tidak? Untuk ukuran zaman dulu kue terang bulan ini termasuk jajanan mewah. Dengan harga yang di atas rata-rata. Jika kita jajan kue lain, uang saku yang 500 rupiah bisa dapat segala macam. Maka untuk kue terang bulan bulan hanya dapat satu buah. Jadi hanya mereka yang uang jajannya di atas 500 rupiah yang biasanya membeli kue terang bulan.

Saya sendiri selain memang suka dengan kue terang bulan. Ada beberapa faktor juga yang membuat saya memilih jajanan ini. Pertama, jajanan ini fresh from oven kalau istilah sekarang. Bagaimana tidak? Penjualnya baru akan mencetak kue ini kalau ada yang membeli. Jadi benar-benar baru dibuatkan dan masih hangat saat kita makan. Pikiran sederhana saya saat itu, kue ini berarti cukup bersih. Tidak terkena debu meski jajanan yang terbuka. 

Kedua, tidak terlalu ramai alias tidak antri jika membeli kue ini. Mungkin faktor harga juga. Ketiga, saya kerap diberi bonus oleh si bapak penjualnya jika membeli kue ini lebih dari dua. Biasanya saat pulang sekolah saya kerap membeli lagi untuk adik di rumah. Mungkin karena saya langganan tetap jadi diberi bonus. Weh, siapa yang tak senang?

Makanya sesekali terbersit keinginan untuk jajan kue terang bulan kampung lagi. Meski tidak mudah mencarinya. Harus keliling kampung juga untuk bisa menemukan pedagangnya. Namanya nostalgia ya begitulah. Seru dan ada sensasi tersendiri saat mendapatkannya.

Selain itu ada story juga dibalik kue terang bulan kampung ini. Saat duduk di bangku kelas 5 SD. Ada kakak kelas lelaki yang kerap memberi kue ini jika saya tak sempat keluar kelas untuk istirahat.

"Ini buat kamu. Tadi beli dua sekalian. Pas aku lewat sini lihat kamu masih mengerjakan tugas. Jadi kubelikan saja. Ini kue kesukaan kamu kan?"

Awalnya saya biasa saja. Senang dong ada yang memberi makanan. Jadi tak perlu repot-repot keluar kelas. Eh, lama-lama di sela pemberian kue itu ada surat cinta yang ditujukan pada saya.

Uhuyyy.. surat cintaku yang pertama. Lucu juga sih kalau mengenang masa itu. 

"Ya, ampun. Gue dapat surat cinta pertama kali waktu SD."

Lalu bagaimana kelanjutannya setelah saya menerima surat cinta tersebut? Hmmmm, kasih tahu enggak ya? Eh, kapan-kapan saja ya? Saya kan sedang nostalgia dengan kue terang bulan kampung. Yang ternyata terselipi cerita cinta. Jadi benar-benar nostalgia deh. (EP) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun