Pandemi Covid-19 sungguh kondisi yang tak pernah diduga oleh siapa pun. Selama beberapa bulan kita hanya melihat dan mendengar berita tersebut melalui televisi. Bagaimana kondisi di Wuhan, kota pertama yang terdampak Covid-19. Setelahnya perlahan namun pasti virus tersebut menyebar ke berbagai negara termasuk Indonesia
.Dampaknya sungguh luar biasa. Tak hanya membunuh manusia yang terkena virus Covid-19 Â Namun membunuh manusia lain yang tak terkena virus tersebut dan tak mengerti apa-apa. Yakni melalui dampak yang ditimbulkan akibat adanya Covid-19. Â
Di mana pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan memerintahkan semua aktivitas dilakukan dari rumah saja. Akibatnya tak ada lagi orang yang keluar rumah untuk bersantai atau sekadar menikmati suasana akhir pekan. Selain semua tempat-tempat umum tersebut ditutup. Mereka juga takut terkena virus Covid-19.
Bagi mereka yang memiliki penghasilan tetap seperti pegawai negeri sipil tentu tak pusing dengan pemberlakuan tersebut. Namun bagi mereka yang tidak memiliki gaji tetap, yang mengumpulkan pitih alias uang dari kerja harian. Menjeritlah jiwa dan raganya.
Miris hati ini kala mendengar curahan hati kawan-kawan yang terpaksa kehilangan pekerjaan. Yang harus menjual barang-barang di rumah demi untuk menyambung hidup. Sejujurnya ingin sekali membantu. Tapi saya sendiri penghasilannya tidak tetap. Sebagai seorang blogger dan penulis lepas tentu bergantung dari job yang masuk.
Sejauh ini meski job yang masuk sangat berkurang namun masih cukuplah untuk kehidupan sehari-hari. Tapi jika untuk membantu kawan yang kesulitan memang tidak ada. Sedih sih. Tapi mau bagaimana lagi?
Dari sini saya mulai sadar. Bahwa perlunya memiliki pitih (bahasa Minang dari uang) lebih ya untuk ini. Agar bisa membantu orang lain. Apalagi ketika kemudian ada sedulur yang mengeluh karena suaminya tak bekerja lagi. Ia ingin membuka warung kecil-kecilan tapi tak punya modal.Â
Ia tidak secara langsung meminjam uang kepada saya. Namun dari caranya bercerita saya tahu ia butuh  uang. Ya Allah, saya harus bagaimana? Niatnya ingin membantu tapi kondisi keuangan sedang tidak stabil.
Rupanya di mana ada niat di situ ada jalan, benar adanya. Saya diberikanan rezeki melalui pintu yang disangka-sangka. Saya sungguh tak menyangka bahwa hobi yang dilakukan untuk mengisi waktu luang ternyata di saat pandemi justru menghasilkan pitih.
Apakah hobi tersebut?
Sebenarnya hobi yang biasa saja. Ada banyak juga orang yang melakukan hal tersebut. Yakni mengolah kain perca menjadi sesuatu yang bermanfaat.Â
Jika kebanyakan orang memanfaatkan kain perca untuk membuat celemek, cempal, tutup galon atau tutup kulkas dan lain-lain. Maka tidak demikian dengan saya. Saya ingin sesuatu yang beda. Yaitu membuat bros, ikat rambut dan alas unik. Fokusnya sih lebih ke alas unik.
Kenapa memilih kreasi tersebut? Pertama karena mudah. Kedua santai pengerjaannya. Ketiga bisa dikerjakan di mana-mana. Dan yang keempat, yang saya rasa paling penting. Yaitu tak memerlukan mesin jahit.
Kok bisa? Sebab semua itu saya kerjakan secara manual dengan cara dijahit menggunakan tangan saja. Praktis bukan? Iya. Sebab saya mengerjakannya pun untuk mengisi waktu luang. Selama di rumah saja banyak waktu luang. Jadilah terpikir untuk menyalurkan hobi yang selama ini jarang tersentuh. Â
Tapi hanya untuk dikenakan sendiri atau diberikan kepada adik dan keponakan. Sungguh tak terpikirkan untuk menjualnya. Saya merasa masih cukuplah pitih yang didapat dari job yang datang. Jadi memang benar-benar untuk iseng saja membuar kreasi kain perca tersebut daripada bengong.Â
Proses dari hobi menjadi pitihÂ
Fokus saya adalah membuat alas unik. Karena menurut saya selain unik juga menarik. Bisa digunakan untuk alas vas bunga atau alas mangkuk panas
.ÂBerhubung ada beberapa buah, akhirnya saya coba tawarkan ke teman-teman. Barangkali tertarik. Terjual 10 buah saja, lumayan untuk membantu saudara yang kesusahan. Ternyata benar, terjual semua. Pembelinya ada yang dari Bandung dan Yogyakarta.Â
Karena niat awalnya ingin membantu saudara, maka saya berikan uang tersebut untuk modal usahanya. Alhamdulillah usahanya yang walau kecil-kecilan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Â
Apakah setelah itu saya berhenti berkreasi? Tidak. Sebab memang hobi. Selain itu sayang melihat pakaian batik yang tak terpakai digunakan untuk kain lap. Oleh karenanya saya gunting dan ambil kain yang masih bagus. Lalu mulai diutak-atik.Â
Lumayan bisa menjadi barang bagus dan bermanfaat. Ditambah ada kawan yang meminta barang tersebut untuk dijual kembali. Jadi usaha si kawan ini berjualan macam-macam.Â
"Gue mau deh beberapa buah alas uniknya. Tapi bukan buat gue sendiri. Mau gue tawarin ke temen-temen lagi."
"Oh, gitu? Ya udah bawa aja."
Maka begitulah. Meski tidak banyak tapi ada saja yang membeli. Hobi yang awalnya untuk iseng saja ternyata bisa menghasilkan pitih. Sepertinya bisa dipikirkan untuk mengembangkan usaha kecil ini. Setidaknya mulai mempelajari segala sesuatunya terkait usaha semacam ini.
Selalu ada hikmah dibalik musibah. Inilah salah satu hikmah yang saya dapatkan. Jadi jangan meremehkan hobi yang dilakukan. Baik itu hobi kita sendiri atau hobi anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Sebab dari hobi bisa jadi pitih. Hanya saja kapan jadi pitihnya, itu urusan Tuhan. Tuhan paling tahu apa yang kita butuhkan. Saya sudah membuktikannya. (EP
)Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H