Semangat. Ya, semangat hidupnya tak padam hanya karena kecelakaan semata. Setelah dewasa ia berprinsip bahwa hidup pun berharga dalam kesunyian. Maka ia memilih jalur menulis agar lebih paham makna kehidupan.Â
Melalui tulisan ia tuangkan semua yang ada di benaknya. Apa yang ia lihat, rasakan  dan yang ada diingatannya. Baik itu berupa cerita pendek, puisi maupun esai. Kemudian mengirimkannya ke media cetak atau online. Kebanyakan pernah ditolak. Tapi ia tak putus asa. Hingga kemudian tulisannya bertebaran di mana-mana.
Buku Pelayaran Tristan yang merupakan karya solo perdananya hasil endapan sekian tahun di sebuah penerbitan. Si penerima naskah yang saat itu bekerja sebagai editor mengisahkan, bahwa pada tahun 2000 seorang perempuan muda menemuinya. Ia tidak berkata jelas. Hanya menyerahkan naskah dan pergi begitu saja.Â
Karena kesibukan maka naskah itu pun terabaikan. Setelah sekian puluh tahun terpendam dalam hard disk dan si editor mulai membaca serta mengeditnya. Ia pun bermaksud menerbitkan buku tersebut. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa si penulis adalah seorang tunarungu. Menurutnya karya Rohyati adalah refleks dua dunia. Kenyataan dan fantasi yang menjadi sumber inspirasinya.
Rohyati hidup di dunia yang sunyi. Dunia tanpa bunyi. Tentu bukan hal mudah. Namun kenyataannya ia bisa menghasilkan karya lewat bahan-bahan bacaan yang ia rangkai kembali kata demi kata.Â
Perempuan bernama lengkap Rohyati Sofjan ini sekarang tinggal di Limbangan, Garut, Jawa Barat. Bersama suami dan buah hati tercinta. Kini sudah bisa dipahami kaitan antara Beethoven dan Rohyati? Mereka sama-sama berkarya dalam sunyi. Bedanya, Rohyati menikah dan dikaruniai buah hati. Sedangkan Beethoven tidak menikah sampai akhir hayatnya.Â
Sunyi juga menawarkan pilihan. Tinggal bagaimana penghuni kesunyian tersebut bisa memaknainya. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H