"Kau makanlah di mobil biar perutmu hangat. Sebab sebelum subuh kau harus sudah berangkat. Tibo di bandara kau pasti sibuk mencari tempat salat. Jadi awak tahu kau akan lupa sarapan."
Begitu pesan beliau sebelum saya berangkat.Â
"Nanti begitu Tibo di BIM, kau carilah salah satu restoran cepat saji. Hanya di situ kau bisa menjumpai sup krim. Selepas itu kau akan sulit mencarinya. Kecuali masuk hotel berbintang."
Begitu perhatiannya sampai hal-hal kecil seperti itu beliau ingatkan. Dan memang, hal itu yang kemudian saya lakukan begitu mendarat di BIM. Menghangatkan tubuh dengan semangkuk sup krim.Â
Begitu pula pada saat akan kembali ke Jakarta. Sambil menunggu waktu keberangkatan, saya menghabiskan waktu dengan menikmati semangkuk sup krim.Â
Bagi saya sup krim itu selain lembut dan lezat, juga menenangkan perasaan kala memakannya. Mungkin itu hanya perasaan saya saja. Tapi begitulah yang saya rasakan.
Satu Minggu sebelum Bundo tiada, saya ingat betul bagaimana beliau membuatkan sup krim spesial untuk saya. Sup krim ayam baso kesukaan saya.
"Mainlah ke rumah. Bundo sudah buatkan sup krim kesukaanmu. Jangan sampai tidak. Belum tentu besok-besok Bundo bisa buatkan lagi."
Sebenarnya waktu itu saya enggan kemana-mana. Lelah mengajar dibeberapa tempat. Namun demi menghargai Bundo yang sudah repot-repot memasak, akhirnya saya berkunjung ke rumah Bundo.Â
Saya sungguh tak menyangka jika itu merupakan kebersamaan kami untuk terakhir kalinya. Bundo sakit kemudian dirawat di rumah sakit dan tidak tertolong.
Semenjak itu, jika saya sedang rindu pada Bundo. Saya membuat sup krim sendiri. Tentu saja sup krim instan dengan campuran beberapa bahan makanan.