Beberapa bulan di rumah saja akibat pandemi Covid-19, jujur ada perasaan rindu akan traveling. Apalagi pada dasarnya memang suka jalan-jalan. Dulu setiap libur akhir pekan selalu ada saja tempat-tempat yang dikunjungi. Wajar jika kemudian timbul rasa rindu untuk jalan-jalan.
Namun melihat kondisi yang masih seperti ini. Meski sudah diberlakukan new normal, rasanya kok masih belum nyaman kalau ingin jalan-jalan. Belum lagi adanya aturan-aturan kesehatan yang harus dipatuhi. Bagus sih. Tapi ribet kata saya sih.Â
Daripada merasa tak nyaman. Terus kenapa-napa? Lebih baik menunda dulu acara jalan-jalannya. Sabar saja. Semua akan indah pada waktunya. Bukannya sok puitis. Ini adalah pengingat diri, penyemangat untuk diri sendiri. Seperti kata iklan. Manisnya hidup, kita yang tentukan.
Lalu bagaimana kalau masih saja muncul perasaan rindu itu? Apalagi media sosial seperti Facebook kerap memunculkan kembali atau mengingatkan kita tentang peristiwa lampau. Seperti munculnya foto kita saat sedang traveling pada tanggal sekian.
Hal tersebut mau tidak mau mengingatkan kita dengan peristiwa yang terjadi saat itu. Contohnya saja ketika Facebook memunculkan foto saya ketika sedang menikmati sate Padang di pelataran Jam Gadang, Bukittinggi. Otomatis hal tersebut membuat hati ini rindu akan suasana di sana. Apalagi sudah lama tak jalan-jalan. Alasan tepat untuk melakukan traveling ke Sumatera Barat.
Bisa saja sih langsung merencanakan perjalanan ke sana. Namun kembali lagi, kondisinya belum nyaman untuk melakukan perjalanan. Apalagi hanya sekadar jalan-jalan. Tak penting kata orang. Maka ditunda dulu keinginan tersebut.
Sebagai gantinya, saya hibur diri ini dengan kuliner makanan asal Padang, Sumatera Barat. Yakni sate Padang dan ketupat sayur pakis Padang. Hmmmm, auto ngiler membayangkan kedua makanan tersebut.Â
Maka begitulah, saya berburu ketupat sayur pakis Padang untuk sarapan pagi. Dalam kondisi seperti ini belum banyak pedagang makanan yang dijumpai. Kalaupun ada, hanya ketupat sayur biasa. Tak ada sayur gulai pakis. Padahal pakisnya itu yang membuat beda.
Perburuan pun kembali dilakukan. Setelah mengitari beberapa komplek perumahan, akhirnya saya menemukan pedagang ketupat sayur pakis Padang. Langsung saya menuju ke sana. Sebelumnya bertanya dulu untuk memastikan ada tidaknya sayur pakis tersebut. Jangan-jangan hanya tulisannya saja.
"Da, sayur pakisnyo ada?" tanya saya.
"Ada, Uni. Baru hari ini ada lagi. Sudah tiga bulan awak gak buat."
Wah, rezeki saya berarti. Maka begitulah. Saya memesan satu porsi ketupat sayur pakis lengkap pakai telur. Meski tak senikmat saat sarapan pagi langsung di kota asalnya. Setidaknya cukuplah sebagai pelepas rindu akan Kota Padang.
Siang harinya untuk menu makan siang, saya ingin sate Padang. Nah, perjuangan dalam mendapatkan sate Padang yang cukup enak sesuai lidah saya tidaklah mudah. Sebelumnya saya sudah pernah mencicipi beberapa sate Padang di sekitar tempat tinggal. Namun masih belum ketemu yang pas.
Tiba-tiba saya teringat sate Padang yang cukup enak. Yaitu sate Padang di restauran Sari Ratu. Wah, sate Padang di sini tuh memang beda. Pokoknya enaklah. Enak menurut lidah saya loh. Karena kan selera orang beda-beda. Setidaknya terobatilah rasa rindu ini lewat kuliner yang diinginkan.
Bicara sate Padang, tahukah kalau sate Padang itu memiliki tiga rasa berbeda. Rasa tersebut dibedakan dari jenis kuahnya. Kalau satenya sendiri tak jauh beda. Berupa daging sapi, lidah sapi dan sedikit jeroan.
Jika memperhatikan dengan jeli. Saat kita membeli sate Padang maka akan menemukan kuah atau bumbu sate yang berbeda. Mungkin Anda pernah memakan sate Padang dengan kuah berwarna kuning? Kemudian di tempat lain kuahnya merah atau kecokelatan.Â
Kalau orang awak yang makan tentu sudah paham perbedaan tersebut. Tapi kalau orang awam yang makan, paling hanya membatin saja alias bicara dalam hati. "Kok bumbunya beda. Enggak seperti bumbu sate Padang yang biasa saya makan."Â
Lha, memang beda. Sebab sate Padang itu ternyata memiliki tiga rasa kuah yang berbeda. Ada sate Padang yang kuahnya berwarna kuning, ada sate Padang yang kuahnya berwarna merah dan ada juga sate Padang yang kuahnya berwarna cokelat.
Rupanya warna kuah tersebut menunjukkan asal si sate Padang itu dibuat. "Loh, bukannya sate Padang itu asalnya dari Padang. Apa yang membuatnya beda?"
Bedanya dari asal pembuatannya itu. Kalau sate Padang dengan kuah berwarna kuning asalnya dari Padang Panjang. Nama lainnya sate Darek. Warna kuning kuahnya itu dari banyaknya rempah kunyit yang digunakan.Â
Sementara sate Padang yang kuahnya berwarna merah. Itu sate Pariaman. Ada 19 jenis bumbu yang digunakan untuk kuah tersebut. Dengan porsi cabainya yang sangat banyak.
Sedangkan sate Padang yang kuahnya berwarna cokelat dan agak manis dibandingkan sate Padang yang lain, kemudian ada taburan kelapa parut di atasnya. Itu namanya sate Danguang-danguang. Berasal dari nagari Danguang-danguang kabupaten 50 kota.
Ternyata ada cerita dibalik sate Padang. Menarik bukan? Eh, kok jadi ingin mendatangi daerah-daerah asal sate Padang tersebut sih. Pasti lebih seru dan berkesan bila makan sate Padang di tempat asalnya masing-masing.Â
Aish, dasarnya saja saya senang jalan-jalan. Dicatat dulu deh. Ini destinasi wisata yang harus dikunjungi kalau pandemi Covid-19 sudah berlalu. Semoga. Aamiin.
Note:
Sumber berita: Wikipedia dan detik.com
Lokasi ketupat sayur pakis Padang: Komplek Larangan Indah. Harga per porsi Rp 13.000
Lokasi sate Padang: Restauran Sari Ratu Senayan City. Harga per porsi Rp 60.000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H