"Apa hebatnya? Cuma naik kuda saja kok dibilang hebat."
Eits, jangan nyinyir. Ini berdasarkan fakta dan pengalaman pribadi. Makanya bisa bilang begitu.
Kuda. Hewan yang sangat kuat dan memiliki kecepatan luar biasa. Makanya digunakan sebagai kendaraan dalam berperang. Dulu.
Setelah tak ada lagi perang. Kuda dimanfaatkan orang untuk mengangkut barang, untuk perlombaan, untuk alat transportasi dan lain sebagainya.Â
Dengan tinggi yang mencapai hampir 2 meter. Tidak mudah untuk bisa menaiki kuda begitu saja. Butuh keahlian khusus.
Kalau pun kita melihat di film-film bagaimana dengan mudahnya si tokoh menaiki kuda. Apalagi kuda yang sedang berlari lalu dikejar dan dinaiki dengan mudahnya. Itu tuh mereka butuh latihan dan kerja keras. Bahkan ada yang sampai luka.
Maka jika  dikatakan bahwa perempuan yang jago naik kuda itu tak hanya keren tapi juga hebat. Itu bukan hoax. Tapi fakta.
Faktanya, saya pernah naik kuda dan setelah itu merasa kapok. Jujur rasanya takut sekali. Padahal kuda yang saya naiki hanya kuda tunggangan yang  jinak dan didampingi si penarik kudanya loh. Tapi tetap saja kapok.
Ceritanya saat liburan di Bandung, saya mengajak si kecil jalan-jalan pagi di sekitar kompleks perumahan. Rupanya tak jauh dari sana ada pasar kaget dengan aneka hiburan. Salah satunya kuda tunggangan yang dijajakan dengan membayar sekian rupiah bisa keliling naik kuda.
Si kecil tertariklah ingin naik kuda. Untuk menyenangkan hatinya dan melukis kenangan indah pada dirinya tentang kuda. Saya ijinkan dong. Masalahnya saya tak siap membiarkan si kecil naik sendirian hanya berdua si penarik kuda.
Meski hanya satu putaran komplek. Tetap saja rasanya tak rela. Apalagi ia akan hilang dari pandangan dan pengawasan saya. Oh, noooo. Berbagai pikiran buruk pun berseliweran. Nanti kalau begini bagaimana? Kalau begitu bagaimana?Â
Dihantui pikiran buruk seperti itu. Saya pun membatalkan niat untuk menggoreskan kenangan indah pada si kecil tentang enaknya berkuda. Nanti sajalah kalau sudah besar.Â
Tapi apa yang terjadi? Si kecil menangis dong. Tetap ingin naik kuda. Maka saya minta bapaknya ikut naik juga. Awalnya si bapak menolak. Tapi demi anak tak apalah. Tak apa juga mesti membayar lebih.
Kalau seperti ini saya pun merasa aman. Tak khawatir lagi. Maka begitu mereka dituntun keliling naik kuda. Saya dengan santainya mencari jajanan yang menarik di sekitar sana.
Tak berapa lama mereka tiba kembali di tempat star tadi. Si bapak turun dan saya siap mengendong si kecil. Namun apa yang terjadi? Si kecil menangis tak mau turun. My God. Dia suka naik kuda.
Akhirnya diputuskan satu putaran lagi. Tapi si bapak tak mau menemani lagi. Gantian katanya. Jadi saya yang harus naik menemani si kecil keliling naik kuda.
Yo weslah demi bocah. Saya pun bersedia. Si penarik kuda segera mengatur pijakan agar sesuai dengan panjang kaki saya. Setelah siap, saya dipersilakan naik.Â
Awalnya saya merasa biasa saja. Bahkan sedikit mengkhayal seolah-olah saya Cinderella yang sedang berkuda seperti yang saya lihat di film. Merasa kerenlah pokoknya. Saya pegang tali kendali dengan mantap.
Begitu si penarik kuda mulai berjalan menuntun kami sambil memecut si kuda agar berlari-lari kecil. Jantung saya dong mulai bereaksi. Deg-degan gitu. Secara di atas ketinggian bergoyang-goyang tanpa ada sandaran, pegangan dan lain-lain. Hanya berpegangan tali saja. Pikiran buruk pun kembali berseliweran.
Duh, piye iki kalau tiba-tiba kudanya ngamuk dan mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi seperti di film-film? Atau tiba-tiba berlari kencang tanpa terkendali? Bagaimana nasib saya dan si kecil? Enggak terbayang kalau kami terpelanting dari kuda. Meski hanya dari ketinggian dua meter tetap saja tinggi dan membahayakan.
Diliputi pikiran seperti itu, jadinya saya tak tenang selama di atas kuda. Boro-boro senang. Inginnya cepat sampai. Saya spontan berteriak ketika si penarik kuda memecut kudanya agar berlari sementara ia sendiri berjalan santai di belakang tak memegangi kuda kami.
"Hadeuuh, hadeuuh! Jangan dilepas atuh. Nanti kudanya lari bagaimana Mang? Saya teh takut ini. Takut kudanya ngamuk."
Si Mamangnya malah ketawa tahu saya ketakutan. "Ya enggak atuh Bu kalau kudanya ngamuk. Kan ada saya."
Iih, si Mamang enak saja ngomong begitu. Namanya kuda. Hewan Mang. Binatang. Mana kita tahu perasaannya? Sama pasangan saja kita masih suka meraba-raba perasaannya. Ini teh kuda. Hewan. Hadeuuh...bisa saja dia ngamuk tiba-tiba.
Di atas kuda, pikiran ini melayang kemana-mana. Dari perasaan takut sampai memuji si kecil yang malah kesenangan jalan-jalan di atas kuda. Saya jadi merasa kagum dengan Cinderella yang dalam salah satu adegan ia naik kuda tanpa pelana pula.
Juga terhadap perempuan-perempuan lain yang jago berkuda. Hebatlah pokoknya. Keren pisan euy bisa naik kuda sendirian dan memacu kudanya di alam bebas.Â
Terlintas juga dalam pikiran ini tentang pangeran berkuda seperti dalam dongeng-dongeng yang saya baca. Keren sih. Untungnya saya tak pernah mengkhayal seperti di dongeng-dongeng tersebut. Bertemu pangeran berkuda lalu duduk menyamping di depan diajak berkuda menuju istana impian.Â
Kalau pun kenyataannya diajak seperti itu. Terus terang saya ogah. Duduk biasa saja saya ketakutan, apalagi duduk miring menyamping. Yang ada saya bakal berteriak-teriak.
Kembali ke cerita saya berkuda dengan si kecil tadi. Begitu sampai di tempat semula, saya langsung bersorak kegirangan. Tapi dalam hati. Lega rasanya. Sungguh satu putaran yang menegangkan tadi itu. Syukurnya si kecil tak rewel lagi begitu turun dari kuda.Â
Duh, nak, nak. Besok-besok naik delman saja lebih nyaman. Kalau mau naik kuda seperti itu lagi sama bapak saja. Saya teh kapok.Â
"Baru berkuda gitu aja takut. Gimana mau berkuda sama pangeran?"
"Iiih, siapa juga yang pingin ketemu Pangerang berkuda?" sahut saya waktu digodain seperti itu.Â
Lebih baik dibonceng naik sepeda deh daripada naik kuda kata saya lagi. Kapok naik kuda teh. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H