Si Mamangnya malah ketawa tahu saya ketakutan. "Ya enggak atuh Bu kalau kudanya ngamuk. Kan ada saya."
Iih, si Mamang enak saja ngomong begitu. Namanya kuda. Hewan Mang. Binatang. Mana kita tahu perasaannya? Sama pasangan saja kita masih suka meraba-raba perasaannya. Ini teh kuda. Hewan. Hadeuuh...bisa saja dia ngamuk tiba-tiba.
Di atas kuda, pikiran ini melayang kemana-mana. Dari perasaan takut sampai memuji si kecil yang malah kesenangan jalan-jalan di atas kuda. Saya jadi merasa kagum dengan Cinderella yang dalam salah satu adegan ia naik kuda tanpa pelana pula.
Juga terhadap perempuan-perempuan lain yang jago berkuda. Hebatlah pokoknya. Keren pisan euy bisa naik kuda sendirian dan memacu kudanya di alam bebas.Â
Terlintas juga dalam pikiran ini tentang pangeran berkuda seperti dalam dongeng-dongeng yang saya baca. Keren sih. Untungnya saya tak pernah mengkhayal seperti di dongeng-dongeng tersebut. Bertemu pangeran berkuda lalu duduk menyamping di depan diajak berkuda menuju istana impian.Â
Kalau pun kenyataannya diajak seperti itu. Terus terang saya ogah. Duduk biasa saja saya ketakutan, apalagi duduk miring menyamping. Yang ada saya bakal berteriak-teriak.
Kembali ke cerita saya berkuda dengan si kecil tadi. Begitu sampai di tempat semula, saya langsung bersorak kegirangan. Tapi dalam hati. Lega rasanya. Sungguh satu putaran yang menegangkan tadi itu. Syukurnya si kecil tak rewel lagi begitu turun dari kuda.Â
Duh, nak, nak. Besok-besok naik delman saja lebih nyaman. Kalau mau naik kuda seperti itu lagi sama bapak saja. Saya teh kapok.Â
"Baru berkuda gitu aja takut. Gimana mau berkuda sama pangeran?"
"Iiih, siapa juga yang pingin ketemu Pangerang berkuda?" sahut saya waktu digodain seperti itu.Â
Lebih baik dibonceng naik sepeda deh daripada naik kuda kata saya lagi. Kapok naik kuda teh. (EP)