Dibanding-bandingkan itu rasanya sakit sekali. Apalagi oleh pasangan sendiri. Orang yang sudah tahu baik buruknya diri kita luar dalam. Orang yang menjadi tempat kita mencurahkan segala hal.
Ketika seseorang berani memutuskan untuk berumah tangga, artinya ia sudah siap menjalani kehidupan bersama pasangan sampai akhir hayat. Tentu saja dengan segala kelebihan dan kekurangan pasangan yang baru tampak dikemudian hari.
Ya, kekurangan yang baru tampak. Sebab selama menjalani masa penjajagan atau pacaran biasanya yang terlihat hanya yang baik-baiknya saja. Barulah ketika sudah berumah tangga akan terlihat kebiasaan pasangan yang tidak disukai.
Misalnya meletakkan handuk bekas pakai disembarang tempat. Senang menggantung baju hingga berhari-hari. Dan hal-hal lain yang tidak terlihat ketika masih berpacaran. Semua itu sesuatu yang jamak dialami oleh hampir semua pasangan.Â
Lika-liku hidup berumah tangga. Jadi diantepin saja. Begitu komentar yang terlontar. Kalau diikuti bisa bikin stress. Namun ketika ranah rumah tangga mulai dirasuki hal-hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan atau dikata kan. Maka waspadalah. Hal tersebut bisa menjadi bisul yang siap meletus kapan saja.
Salah satunya adalah sikap membanding-bandingkan. Wow, siapa pun pasti tidak suka jika dibanding-bandingkan. Walau pun yang dikatakan sebagai pembanding itu benar. Alangkah eloknya jika tidak perlu diucapkan secara gamblang.Â
Berdasarkan curahan hati beberapa orang yang memiliki problem sama, ternyata ketika pasangan melontarkan kata-kata pembanding. Mereka merasakan sakit di relung hati terdalamnya.
"Bayangin, tiap hari gue harus pakai krim penghilang noda biar kaki ini enggak bopeng. Suami gue yang nyuruh. Gara-gara dia lihat betis mulus lewat di depannya."
"Kok bisa?" tanya yang lain.
"Jadi kapan itu gue lagi pergi berdua. Di lampu merah ada cewek yang dibonceng juga pakai celana selutut. Kelihatan betisnya yang mulus. Lantas aja laki gue nyeletuk. Dek, kaki tuh kayak cewek itu, mulus. Coba sih lo pakai krim apa gitu biar hilang bopengnya."
"Bayangin, gimana perasaan lo digituin sama suami sendiri? Kan dia udah tahu dari zaman pacaran. Kenapa sekarang dibanding-bandingin. Kalau masih pacaran sih udah gue putusin deh."
Dari curahan hati tersebut kita bisa melihatnya dari beberapa sisi. Dari sisi suami, bisa saja ia hanya berkomentar  lalu  memberikan  usulan tanpa bermaksud membanding-bandingkan.
Dari sisi istri, jelas ia merasa dibandingkan dan si suami menginginkan dirinya supaya seperti itu. Meski kesal dan sakit hati namun ia berusaha melakukan apa yang disarankan si suami. Begitulah kebanyakan yang terjadi pada seorang istri. Manut, nurut meski hati meruntuk.Â
Dalam hal-hal tertentu bisa dibenarkan hal tersebut. Namun ada hal-hal yang seharusnya dijaga juga oleh suami. Jangan asal ucap. Sebab bisa membuat si istri kepikiran. Iya, kalau si istri tipe orang yang cuek. Kalau sebaliknya? Apa enggak melukai perasaannya tanpa disadari?
Dalam islam Rasulullah SAW mengajarkan adab-adab suami terhadap istri dan sebaliknya. Salah satu contoh soal masakan. Andai masakan istri keasinan, tidak lantas berkomentar dengan gamblang. Hal tersebut bisa melukai hati si istri. Maka dikatakanlah dengan elok.
"Kalau besok masak lagi, garamnya agak dikurangi ya biar lebih enak."
Kata-kata demikian meski si istri tahu maksudnya bahwa masakan hari ini keasinan. Tidak lantas membuatnya meradang. Justru bisa membuatnya senyum-senyum.Â
Maka memang benar. Menjaga perasaan itu sangat penting. Â Meski sudah menjadi suami istri yang sudah tahu luar dalamnya. Sebab hati itu untuk dijaga bukan dijajah. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H