Lebaran selalu menghadirkan momen-momen tak terduga. Terutama lebaran di tempat baru. Di daerah yang baru disinggahi.Â
Hal ini yang saya alami ketika awal-awal hijrah dari Surabaya ke Jakarta. Tinggal di lingkungan yang masyarakatnya kebanyakan asli Betawi. Memberi warna dan nuansa berbeda bagi saya.
Terutama soal adat kebiasaan dan menu makanan. Ada beberapa makanan dan kue lebaran yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Kemudian menjadi kue kesukaan saya di waktu-waktu berikutnya hingga kini.Â
Salah satunya adalah kue biji ketapang. Sempat mengerutkan kening ketika ditawari biji ketapang. "Mau bawa biji ketapang gak? Ntar gue bungkusin," ujar kawan sayaSaya bingung. Macam mana biji ketapang itu? Penasaran dong. Akhirnya saya iya kan tawaran itu. Oh, ternyata biji ketapang itu kue kecil-kecil berwarna kecokelatan seperti biji.Â
Biji ketapang tepatnya. Jenis pohon yang banyak tumbuh di jalan dan kebun sekitar tempat tinggal masyarakat Betawi
Bahan dasarnya sih tepung terigu, santan, kelapa sangrai, mentega dan gula. Diuleni lalu dibentuk kecil-kecil seperti biji ketapang baru digoreng.Â
Rasanya manis dan gurih. Enak sih. Cuma agak keras. Kalau dimakan bunyi gletuk-gletuk di mulut. Tapi saya suka. Sensasi bunyinya itu yang menarik. Sepertinya halnya kalau kita makan kerupuk. Serukan ada bunyi kriuk-kriuknya.
Meski ada yang empuk. Namun jarang dijumpai. Namanya biji ketapang seperti itulah. Hal ini yang membuat biji ketapang kerap dicaci.
"Panganan opo iki? Atose koyok watu?"
Begitu komentar bapak dan ibu ketika saya sodorkan kue biji ketapang dari rumah kawan tersebut. Yang artinya, "Makanan apa ini? Kerasnya seperti batu."
Saya tertawa. Lucu mendengar komentar mereka. "Tapi enak sih, Pak?"