Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

[Fiksi Ramadan] Hilal Telah Tampak, Wajah Bilal Pun Kian Menyeruak

23 Mei 2020   17:57 Diperbarui: 23 Mei 2020   17:50 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lotusyogacentre.com

"Jadi sudah bisa dipastikan nih lebaran jatuh pada hari Minggu?" teriak Gendis. Adik perempuanku yang sangat manis. 

"Iya, barusan diumumin," sahut Kemal. Kakak lelakiku satu-satunya.

"Asiiik. Berarti satu Minggu setelahnya kita bakal kedatangan tamu istimewa nih. Ayo, Mba Niluh. Siap-siap," ujar Gendis dengan nada menggoda.

"Kok aku dibawa-bawa," sahutku manakala nama ini disebut-sebut.

"Loh, ya kan dirimu yang bakal menjadi tokoh utamanya, Mba."

"Aku?" kataku tak mengerti.

"Ya, ampun. Kamu beneran lupa Mba? Seminggu setelah lebaran ini Kak Bilal dan keluarganya kan akan datang melamarmu."

Aku tersentak. 

"Ya, ampun. Iya, iya? Aku benar-benar lupa," sahutku.

"Mba, Mba. Gimana sih. Kok bisa lupa? Kebanyakan ibadah sih sampai lupa waktu," celetuk Gendis.

"Hus, Gendis. Jaga ucapanmu," ujar ibu yang sudah ada diantara kami. Aku diam saja tak menanggapi perkataan Gendis. Adikku yang satu ini memang suka ceplas-ceplos kalau bicara.

"Jangan dimasukkan ke hati ucapan Gendis tadi ya, Nduk. Adikmu memang begitu," kata ibu sambil meraih tanganku dengan lembut. 

"Njih Bu. Aku ndak apa-apa kok," kataku sambil membalas genggaman tangan ibu.  Kuberikan senyum termanisku agar ibu merasa tenteram. 

Sejak aku hijrah dari anak perempuan yang kerap pulang malam dan gemar nongkrong di kafe-kafe, menjadi perempuan berhijab yang gemar di kamar sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Seisi rumah tak terkecuali ibu sempat merasa cemas. Mereka khawatir aku terpapar ajaran agama yang tidak baik. Sebab perubahanku benar-benar 360.

Ketika ibu dengan hati-hati mengutarakan kegelisahan seisi rumah atas perubahan ini. Aku tersenyum geli.

"Aku beneran enggak apa-apa, Bu. Aku baik-baik saja. Jangan mengkhawatirkan aku. Buang semua pikiran buruk itu. Aku tidak seperti yang ibu dan lainnya pikirkan kok."

"Sungguh, Nduk? Ibu khawatir. Karena ibu takut kehilangan kamu."

Kupeluk ibu dengan penuh kasih sayang. Aku sangat memahami perasaan ibu dan seisi rumah. Perempuan Jawa yang sangat kejawen sekali.

Sejak perubahan yang terjadi padaku, ibu, kakak dan adikku berusaha mencarikan jodoh buatku. Tujuannya agar aku tidak dijodohkan oleh kawan-kawan satu aliran. Bisa-bisa aku akan menjauh dari keluarga. Begitu alasan mereka yang sempat kudengar tanpa sengaja. 

Aku geleng-geleng kepala. Sebegitu khawatirnya mereka. Padahal aku baik-baik saja. Mungkin karena mendengar berita-berita yang miring tentang perubahan orang yang sudah hijrah. Sehingga mereka mengkhawatirkan diriku. 

Memang benar, sejak hijrah untuk berhijab. Aku mulai membatasi pergaulan. Bukan berarti tidak beegaul. Hanya saja tidak sebebas dulu. Tentu tidak elok kalau perempuan berhijab sepertiku masih nongkrong di kafe sampai dini hari. Masih cipika-cipiki dengan setiap kawan lelaki yang dijumpai. 

Dulu aku tidak mengetahui dalilnya, sehingga biasa saja. Setelah mengetahui tentu tidak ingin melakukannya lagi. Aku mulai introspeksi diri. Termasuk dalam hal pergaulan dengan lawan jenis. Aku ingin menikah tanpa harus pacaran seperti umumnya. Cukup saling mengenal karakter masing-masing melalui ta'aruf. Dan itu tidak asal saja.

"Jadi kamu tidak tertarik dengan anaknya Pak Danu? Padahal dia senang sekali padamu loh, Nduk?" kata ibu suatu hari. 

"Aku kurang sreg Bu. Maaf ya Bu. Bukannya menolak niat baik ibu," kataku merasa tak enak hati.

"Ndak apa-apa. Ibu juga Ndak maksa. Pokoknya dengan siapa pun itu sing penting kamu cinta. Ono roso ning dodomu. Jadi enak menjalani semua nantinya," nasihat ibu. 

Aku setujui dengan pendapat ibu. Hal itulah yang menjadi salah satu syaratku dalam menerima seorang lelaki. Memiliki rasa tresno terhadap si lelaki. Disamping kepahaman agamanya.

Sosok itu pun hadir ketika tanpa sengaja mataku bertatapan dengan kawan kakakku yang sedang berkunjung ke rumah.

"Oh, kawannya Mas Kenal, ya? Sebentar aku bangunkan dulu ya? Mas Kemalnya sedang tidur."

"Wah, enggak usah dibangunkan. Besok saja aku datang lagi. Aku pamit dulu, ya? Salahku juga sih enggak janjian dulu," gerutu lelaki dihadapanku ini dengan mimiknya yang lucu. 

Aku tersenyum melihat tampangnya yang lucu. Rupanya ia menyadari hal itu.

"Kenapa tertawa?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa.

"Oh, enggak apa-apa," sahutku.

"Dengan Kak siapa nih? Biar nanti kusampaikan pada Mas Kemal kalau ia sudah bangun."

"Bilal," sahutnya cepat.

"Wah, berarti jago azan dong. Bilal kan..." Aku buru-buru menutup mulutku atas keceplosan itu. Lelaki bernama Bilal itu awalnya terkejut. Tapi selanjutnya malah tertawa lepas.

"Ternyata adik Kemal yang satu ini tak hanya cantik tapi juga lucu ya? Eh." Ia pun buru-buru menutup mulutnya atas kelancangan ucapannya itu. Kami jadi senyum-senyum menyadari hal itu.

Semenjak itu setiap kali Kak Bilal datang ke rumah ia curi-curi pandang padaku. Bahwa cinta itu memiliki magnet tersendiri, itu benar adanya. Entah kenapa aku juga seolah digerakkan untuk menoleh. Sehingga kami kerap tersenyum malu-malu menyadari hal tersebut.

Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba aku dibuat jantungan oleh pernyataan Mas Kemal pada suatu hari.

"Kawanku Bilal sepertinya jatuh cinta padamu, Niluh. Bersediakah kamu menerima lamarannya? Sebab aku katakan kalau kamu tidak ingin pacaran."

"Oh, apa Mas? Apa tadi yang Mas Kemal katakan?" 

Aku sungguh tak percaya dengan apa yang diucapkan Mas Kemal tadi. Kemudian Mas Kemal menceritakan semua perihal Bilal dan niatnya yang langsung diutarakan pada Mas Kemal secara gamblang. Mengingat Mas Kemal adalah waliku semenjak bapak tiada.

Semua keputusan ditanganmu. Nanti aku berikan nomor ponselmu ya? Biar dia bicara secara langsung.

Maka begitulah. Setelah saling menceritakan tentang diri dan keinginan-keinginan pribadi masing-masing. Aku dan Kak Bilal berencana menghalalkan hubungan ini.

"Sebelum Ramadan ya? Biar puasa sudah ada pendamping. Dan pahalanya berlipat."

"Duh, terlalu cepat Kak. Usai lebaran saja ya? Ramadan ini aku ingin khusus beribadah tanpa ada gangguan," kataku.

"Loh, memangnya kalau puasa ada suami. Suaminya jadi pengganggu ibadah si istri?" tanya Kak Bilal terdengar bingung.

"Ya, entahlah. Cuma kata kawan-kawan yang sudah menikah. Para suami tuh emang suka godain istrinya gitu," sahutku apa adanya.

Kak Bilal tergelak mendengar jawabanku.

"Niluh, Niluh. Kamu tuh polos sekali ya? Baiklah, baiklah. Kalau kamu inginnya usai lebaran. Aku ikut saja."

"Satu Minggu setelah lebaran ya aku ajak kedua orang tuaku untuk melamarmu?" ujar Kak Bilal. 

"Ya, pokoknya tunggu hilalnya tampak. Kalau sampai satu Minggu hilalnya belum tampak berarti belum lebaran toh. Masih puasa terus," sahutku. 

Lagi-lagi terdengar Kak Bilal tergelak. Aku kan berkata apa adanya ya? Kenapa dia tertawa begitu? 

Itu merupakan percakapanku dengan Kak Bilal atas kesepakatan hubungan ini. Dan kini hilal telah tampak. Wajah Kak Bilal perlahan mulai menyeruak di mimpi-mimpiku. Mimpi seorang gadis yang sebentar lagi akan dipinang orang. (EP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun