Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemulung, Dicaci Sekaligus Dicari

7 Januari 2020   13:33 Diperbarui: 7 Januari 2020   18:31 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika melihat kehadiran pemulung di sekitar rumah, seorang ibu segera berbisik-bisik, "Hati-hati, gayanya aja nyari barang-barang bekas. Kalo liat gak ada orang disikatnya barang-barang kita."

Seorang ibu lain menimpali, "Iye, bener. Kemarin sandal anak saya hilang. Malam lupa dimasukin. Eh, tadi pagi udeh kagak ada. Siapa lagi kalo bukan kerjaan pemulung yang bergerilya subuh-subuh. Tau aja die sama barang bagus."

"Makanya saya benci banget liat pemulung yang gelap-gelap udah kelayaban. Enggak bisa nunggu terang dulu ape," sahut ibu yang lain.

Pembicaraan seputar pemulung pun semakin seru dengan kedatangan ibu-ibu lain yang menceritakan pengalamannya. Bisa real bisa juga sekadar bumbu.

Ketika musibah banjir datang tiba-tiba. Bahkan ke tempat-tempat yang biasanya tidak terkena banjir. Menerjang apa saja yang dilaluinya. Kita semua hanya bisa terlogok tanpa bisa berbuat apa-apa.

Rumah sudah seperti kapal pecah usai banjir reda. Barang-barang sudah tak karuan bentuknya. Sebagian besar teronggok di halaman rumah. Sudah tak berguna lagi.

Setiap hari membersihkan rumah. Setiap kali itu pula ada saja barang-barang yang harus kita singkirkan. Membuat gundukan sampah barang rusak di halaman semakin menggunung. 

Dalam kondisi seperti ini kita butuh kehadiran pemulung. Sebab tukang sampah di rumah tidak serta-merta mau mengangkut semua barang-barang tersebut.

Pemulung yang biasanya masuk ke pelosok kampung untuk mencari barang rongsokan, tak kelihatan batang hidungnya. Akibat banjir ia panen barang rongsokan. Bisa jadi tanpa harus berkeliling kampung ia sudah mendapatkan barang rongsokan tersebut. Teronggok di depan tempat tinggalnya akibat terbawa banjir.

Ibu-ibu yang tempo hari mencaci-maki kehadiran kini sebaliknya. Mencari-cari batang hidungnya.

"Ini pemulung pada kemana sih? Giliran banyak barang yang mau dibuang, die kagak nongol," keluh seorang ibu.

"Iye, saya juga nunggu-nunggu. Kagak betah lihat tumpukan di depan rumah. Pengen nyuruh bawa-bawain sama tuh pemulung biar bersih halaman saya."

Tak sabar menunggu, ada yang sengaja mencari dan mendatangkan pemulung untuk membawa barang-barang rongsokan di rumahnya.

Pada akhirnya kita butuh juga kehadiran pemulung. Oleh sebab itu tak perlu memaki-maki pemulung. Apalagi sampai membencinya sedemikian rupa hanya karena "kejahatan" yang dilakukan oleh segelintir pemulung.

Ya, segelintir. Sebab tidak semua pemulung culas. Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kita tidak bisa menyamaratakan semua pemulung demikian. Karena ada juga pemulung yang budiman. Nasib saja yang menjadikannya seorang pemulung.

Persoalan culas. Curang atau maling terselubung. Tidak bisa dinilai dari penampilannya. Hanya karena pemulung penampilannya seperti itu bukan berarti ia seorang maling. Meski ada yang begitu.

Kaum berdasi pun ada yang memiliki watak seperti itu. Bahkan banyak. Jadi tak bijak mencaci pemulung seenak udel. Toh kita juga butuh. Apalagi dalam kondisi pasca bencana.

Waspada. Itu yang harus dilakukan. Berhati-hati menjadi kunci keamanan dan keselamatan. Jika sudah bersikap seperti itu tetapi masih kejadian juga. Berarti sudah takdirnya hilang. Sudah bukan rezeki kita untuk memiliki barang tersebut. 

Tak harus mengotori hati dengan cacian. Mencaci pemulung tetapi setelah itu mencari-carinya. Tak elok bukan? (EP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun