MUSIBAH. Sesuatu yang datangnya tiba-tiba. Tidak bisa diprediksi apalagi diantisipasi. Hanya bisa diterima, dijalani dan dinikmati. Untuk selanjutnya berbenah diri.
Hal inilah yang saya alami saat malam pergantian tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya dan keluarga tidak pernah merayakan malam pergantian tahun secara khusus. Hanya kumpul-kumpul di rumah saja.Â
Begitu pula dengan malam pergantian tahun 2020 ini. Hanya di rumah saja. Rencananya kumpul bersama adik-adik saja sambil memesan makanan apa gitu. Tetapi cuaca menjelang tahun baru itu kok suram. Sudah mendung sejak sore. Malamnya turun hujan. Akhirnya tak jadi kumpul-kumpul. Tidur saja.Â
Pukul tiga saya bangun. Seperti biasa, melakukan ini dan itu. Termasuk menulis di Kompasiana. Bagi saya pukul tiga sampai menjelang subuh saat yang paling nyaman dan tenang untuk mengerjakan urusan pribadi.
Saya beranjak saat azan subuh tiba. Hujan masih terdengar mengguyur bumi dengan derasnya. Tulisan untuk Kompasiana belum saya publish. Hanya saya save karena belum selesai. Tulisan pertama di awal tahun 2020.Â
Ketika sedang sujud di atas sajadah, saya merasakan sajadahnya basah. Saya selesaikan salat tanpa sempat berzikir dan lain-lain. Sebab air terlihat menggenang di lantai begitu banyak hingga semata kaki. Tiba-tiba dan tak terbendung.Â
Kepanikan pun segera melanda. Tetangga mulai terdengar ramai. Banjir. Yah, rumah kami kebanjiran untuk pertama kalinya.Â
Saya segera menyambar tas ransel siaga bencana dan meletakkannya di atas lemari. Mengabarkan kondisi ini kepada sanak saudara dan teman-teman dekat. Selanjutnya menyelamatkan buku-buku di tempat yang tinggi juga. Lalu koleksi kain Nusantara. Mencabut kabel-kabel listrik.Â
Kedalaman air terus meningkat hingga setinggi betis. Perabotan rumah sudah mengambang. Tak lama lemari berisi koleksi tas roboh. Saya langsung teringat nasib buku-buku dan kain Nusantara yang sudah di atas lemari. Pasti bisa roboh jika ketinggian air terus.Â
Saya segera mengambil paku dan palu yang masih aman di tempatnya. Saya segera naik ke atas kursi dan memaku tembok setinggi mungkin. Setelah itu segera memasukkan buku-buku kedalam kantong plastik. Lalu menggantungkannya di paku tadi.
Begitu seterusnya. Memaku tembok dan mengamankan sebagian barang-barang termasuk pakaian yang belum basah. Ketinggian air terus meningkat. Begitu sudah mencapai pinggang dan melihat kulkas juga sudah roboh. Saya dan orang rumah segera keluar. Kami tak mungkin bertahan di sini menunggu hujan reda atau menunggu bantuan. Bisa-bisa masuk angin dan tumbang juga.Â
Setelah mengenakan jas hujan dan menyambar tas ransel siaga, saya menerobos derasnya hujan untuk keluar dari kepungan banjir. Waktu baru menunjukkan pukul 06.00 pagi. Pesan di ponsel mengabarkan kalau rumah adik juga kebanjiran. Begitu juga teman-teman yang lain. Ternyata tidak hanya tempat tinggal saya. Tapi menyeluruh.Â
Akhirnya saya putuskan menelpon Bu RT yang lingkungannya tak terkena banjir. Mengabarkan kondisi ini. Saya dan adik-adik akhirnya mengungsi di sana.
Sepanjang hari itu hujan tak kunjung reda. Saya bersyukur sudah mendapatkan tempat untuk berteduh. Urusan barang-barang di rumah sudah tak terlalu saya risaukan. Ikhlaskan saja. Kalau banjirnya semakin tinggi dan barang-barang yang saya letakkan ditembok sampai tergenang juga. Artinya sudah bukan rezeki saya. Jadi harus diikhlaskan juga.
Dari situ saya berpikir. "Iya, ya. Apa yang selama ini kita jaga, kita rawat dengan baik dan hati-hati bahkan sampai marah jika tersenggol sedikit. Ketika musibah datang seperti ini sudah tak ada artinya. Sia-sia."
Benar-benar belajar ikhlas. Harus ikhlas merelakan semuanya. Bahkan kasur kesayangan tempat terindah dan ternyaman yang selalu dirindukan.
Menjelang senja hujan mulai reda. Saya ajak keponakan untuk menengok kondisi rumah. Ternyata lingkungan tempat tinggal saya banjirnya belum surut. Masih setinggi betis. Tentu tidak bisa ditinggali juga.Â
Saya dan keponakan nekad menerobos banjir lagi. Kali ini untuk mengambil motor yang tadi terendam dan tak bisa saya bawa. Ternyata plastik-plastik yang saya gantung dalam kondisi aman. Alhamdulillah.Â
Akhirnya selain membawa motor, saya pun membawa plastik-plastik tersebut. Selebihnya benar-benar saya ikhlaskan. Tak mungkin saya nangkring semalaman menunggui barang-barang. Cari penyakit saja.Â
Air masih tinggi, listrik padam, pintu rusak tak bisa dikunci. Perpaduan lengkap untuk benar-benar ikhlas. Karena harus ditinggalkan. Mengungsi di rumah pak RT.Â
Asal tubuh tetap sehat. Barang-barang berharga sudah terselamatkan. Serta masih bisa menulis dan berbagi pengalaman di Kompasiana. Semua itu anugerah luar biasa yang patut disyukuri. (EP)
Kreo, Ciledug Januari 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI