Sastrawan-sastrawan Indonesia itu hebat loh! Karyanya abadi sampai sekarang. Dikenal sampai ke luar negeri. Namun generasi muda kita tak banyak yang mengenal mereka. Apalagi karya-karyanya.Â
Hanya karya-karya sastrawan yang melegenda bisa diingat dengan baik oleh mereka. Itu pun tak tahu pasti siapa penulisnya. Seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka.Â
Judul buku ini sudah tak asing terdengar oleh mereka. Namun saat ditanyakan siapa pengarangnya? Banyak yang menggelengkan kepala. Ketika buku ini diangkat ke layar lebar. Barulah mereka bergumam, "Oh, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck itu ternyata karya Buya Hamka toh. Saya tahunya buku Di Bawah Lindungan Ka'bah."
Lontaran seperti itu yang saya baca dibeberapa WhatsApp grup kepenulisan. Jadi selama ini mereka hanya tahu judul buku tersebut tanpa tahu siapa penulisnya. Bisa jadi malah belum pernah membaca bukunya.Â
Ada lagi komentar lugu dari salah satu peserta. "Oh, Hayati itu nama tokoh di buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ya? Aku sering tuh membaca status teman yang menyebut Hayati lelah Bang. Dalam hati bertanya-tanya siapa sih Hayati itu? Ternyata nama tokoh di buku. Aku baru tahu."
Saya hanya geleng-geleng kepala. Ya ampun buku bagus karya sastrawan besar loh mereka tidak tahu. Setelah diangkat ke layar lebar barulah mereka paham. Jadi menurut saya perlu kiranya banyak-banyak mengangkat karya sastra ke layar lebar.Â
Hal ini merupakan bentuk lain mengenalkan karya sastra kepada generasi muda milenial. Sebab era mereka adalah digital dan audio visual. Sulit kalau mengharapkan mereka mau berjam-jam menekuri sebuah buku. Apalagi dengan ketebalan buku yang beratus-ratus halaman.Â
Meski buku tersebut bagus rasanya tak banyak yang melirik. Â Sepertinya halnya dengan buku karya Marah Rusli, Siti Nurbaya. Siapa yang tak mengetahui Siti Nurbaya? Kalau mendengar kata perjodohan pasti langsung spontan terlontar kata-kata, "Emangnya zaman Siti Nurbaya."
Tidak salah. Karena mereka adalah pemeran mini seri TVRI, Siti Nurbaya. Lagi-lagi sangat disayangkan karena nama penulisnya tidak diingat.
Kiranya sangat bagus bila perfilman Indonesia banyak mengangkat tema dari karya sastrawan Indonesia. Ada banyak karya sastra yang patut dibuat layar lebar. Dan sebaiknya sesuai dengan judul bukunya. Agar penonton mengetahui judul buku dan penulisnya.Â
Sebab ada beberapa judul buku yang berubah saat diangkat ke layar lebar. Seperti Sang Penari yang diadaptasi dari buku Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.Â
Beberapa waktu yang lalu ramai perbincangan mengenai buku karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia yang akan diangkat ke layar lebar. Mereka yang tak mengenal Pramoedya beramai-ramai mulai berburu buku Pramoedya. Tak hanya buku Bumi Manusia tetapi juga buku yang lain.Â
Hal tersebut merupakan pertanda baik bagi dunia perbukuan. Lewat film mereka menjadi tertarik. Tinggal menanti hasil adaptasi ke layar lebarnya seperti apa. Jika ada ketidak sesuaian itu merupakan hal biasa. Karena memang buku dan layar lebar itu berbeda. Semua memiliki peminat nya sendiri. Memiliki ruang dan dimensi masing-masing. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H