Mudik. Salah satu agenda rutin saat lebaran seperti ini. Dulu ketika kedua orang tua masih ada tujuan mudik hanya ke Jawa Timur atau Ke Jawa Tengah. Bergantian saja. Jika tahun ini ke Jawa Timur maka tahun depan ke Jawa Tengah.Â
Jawa Timur daerah asal bapak. Adapun tujuannya kemana tinggal menunggu titah. Bisa ke Surabaya dulu baru keliling ke Kediri, Malang, Madiun dan Magetan. Bisa juga ke Malang dulu dan seterusnya.
Kalau Jawa Tengah daerah asal ibu. Tepatnya di Banyumas. Untuk ke Jawa Timur biasanya saya naik kereta bareng-bareng. Tetapi untuk ke Jawa Tengah saya memilih naik motor saja. Lebih santai dan banyak tempat yang bisa disinggahi. Sedangkan keluarga yang lain bareng-bareng naik mobil.
Setelah kedua orang tua tak ada, tradisi mudik tetap berjalan. Hanya tidak terfokus ke daerah Jawa Timur atau Jawa Tengah saja. Tetapi lebih menyebar ke beberapa provinsi. Sebab tujuan mudiknya lebih ke silaturrahim dengan saudara-saudara dari pihak ibu atau bapak.Â
Ada saudara ibu yang tinggalnya di Lampung. Maka acara mudik kami bisa ke sana. Ada yang tinggalnya di Bukittinggi, maka tahun berikutnya mudik kami ke sana. Begitu seterusnya. Nah, untuk tahun ini acara mudik kami adalah ke Bandung. Berhubung dekat, jadi saya putuskan naik motor ke sana. Dan tak ada followernya satu pun. Semua keluarga mengangkat bendera putih. Mereka lebih memilih naik mobil saja.
Ya, sudah. Jadilah solo riding ke Bandung. Tepatnya di daerah Sarijadi. Saya berangkat lebih awal, yaitu H-7 agar bisa jalan-jalan terlebih dulu. Tanggal 30 Mei 2019 pagi saya meluncur dari rumah di Tangerang menuju daerah Ciputat. Untuk selanjutnya menuju Parung, Bogor, Ciawi dan Puncak. Saya memilih jalur puncak karena suka dengan pemandangan dan hawa di sana.Â
Sejak berangkat hingga tiba di daerah Puncak, lalu lintas lancar. Parung yang biasanya macet hari itu lancar jaya. Begitu juga daerah Gadog. Benar-benar pengalaman pertama melakukan perjalanan tak menemui kemacetan satu kali pun. Ketika meliuk-liuk di kawasan puncak saya seperti seorang mandor yang sedang mengawasi perkebunan teh dan resort-resort disekitarnya. Sebab benar-benar sepi. Bisa dihitung jari kendaraan yang melintas disamping saya.
Hingga tiba di daerah Cianjur dan Padalarang lalu lintas masih tetap lancar jaya. Saya santai saja mengendarai motornya. Tidak pernah lebih dari 40km/jam kecepatannya. Untuk apa buru-buru. Prinsip saya biar lambat asal selamat.
Namun saat tiba di pertigaan antara tujuan Purwakarta dan Cimahi. Terjadi kekonyolan yang membuat saya bertualang di jalan yang seolah tak ada ujung.Â
Saya dalam perjalanan ini selalu melaju di sisi sebelah kiri. Jarang menyalip kendaraan lain. Benar-benar santai. Begitu santainya sampai dipertigaan tadi saya terbawa arus. Seharusnya lurus menuju arah Cimahi akhirnya belok kiri arah Purwakarta. Mumpung belum terlalu jauh, putar baliklah saya. Eh, ada polisi dipertigaan. Saya diminta putar balik lagi karena jalurnya sudah one way.
Dari sini mulai liyer alias bingung. Sebab tak tahu arah. Saya hanya mengikuti papan petunjuk arah yang terlihat di jalan. Bertemu pertigaan saya ambil kanan mengikuti feeling. Lurus terus tak tahu arahnya kemana. Tak lama melihat papan petunjuk arah bertuliskan, lurus ke Subang, Tangkuban Perahu, Lembang. Ke kanan Kantor Bupati Bandung Barat.
Saya pilih belok kanan dengan harapan menemukan papan petunjuk arah ke Cimahi. Kalau pilih ke Lembang terlalu jauh. Lagi pula hari masih pukul tiga sore jadi bolehlah mampir dulu ingin tahu seperti apa Kantor Bupati Bandung Barat. Ternyata jalurnya itu naik turun seperti daerah perbukitan. Rumah penduduknya jauh-jauh. Ketika bertemu jalan lurus, kanan dan kirinya perkebunan. Wah, saya mulai mikir. "Aduh, kalau apesnya ban bocor dan bensin habis bagaimana ini? Mana hari semakin sore pula."
Akhirnya saya putuskan mencari jalan utama saja. Okelah tak apa lewat Lembang. Dengan kapasitas baterai yang mulai down, saya terpaksa membuka maps. Lalu mengikuti petunjuk yang ada di maps. Tetapi karena tak yakin dengan maps saya pun bertanya pada orang yang dijumpai. Apalagi jalur yang saya lalui naik turun dan curam seperti di puncak. Setelah bertanya dan arah saya sudah benar. Maka saya lanjutkan perjalanan dengan hari sedikit lega.Â
Baru beberapa kilometer tiba-tiba turun hujan. Saya belum mencari tempat berteduh dengan harapan hujannya hanya sebagian. Jadi tak harus berhenti atau mengenakan jas hujan. Ternyata perkiraan saya salah. Hujan semakin deras dan jalan di depan saya turunan cukup curam. Akhirnya saya pun mencari tempat berteduh.Â
Ada beberapa orang yang berteduh di tempat yang sama. Saya gunakan kesempatan ini untuk bertanya lagi. Memang benar ini jalan menuju Lembang. Tetapi masih cukup jauh katanya. Wuduh, pikir saya. Reflek saya melihat jam, sudah pukul lima sore. Alamat buka puasa di jalan.
Dan benar. Usai hujan reda, saya kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini saya lebih berhati-hati karena jalan terlihat licin akibat guyuran hujan. Apalagi jalur selanjutnya seperti puncak Cisarua, meliuk-liuk naik turun cukup curam. Saat saya perhatikan nama daerahnya ternyata namanya Cisarua juga. Hanya ini Cisarua, Padalarang. Wow, lepas dari jalur puncak bertemu lagi jalur puncak.Â
Lumayan menegangkan. Sebab jalurnya lebih curam. Usai hujan pula. Begitu turunan tajam terlampaui dan tanjakan tinggi teratasi tak jauh dari kelokan terakhir saya bertemu pertigaan jalan bertuliskan ke kiri Lembang ke Kanan Ledeng. Saya pilih belok kiri karena ingin menikmati suasana Lembamg malam hari. Tak lama azan magrib berkumandang. Saya terus susuri jalan sambil mencari tempat istirahat yang nyaman. Rumah Sosis dan Susu Murni Lembang meyakinkan saya kalau ini sudah tiba di Lembang.Â
Apalagi setelah melintasi alun-alun Lembang. Sambil berbuka puasa di sekitar alun-alun, saya kabarkan kepada keluarga di rumah kalau saya sudah sampai Bandung. Tetapi ingin bermalam dulu di Lembang. Selain ingin menikmati Lembang malam hari, saya juga ingin menikmati Lembang pagi hari. Kapan lagi? Mumpung di sini. Esok atau lusa belum tentu bisa ke sini lagi. Tak akan ada yang mau diajak ke sini. Sebab Lembang terkenal akan kemacetannya.Â
Setelah melakukan perjalanan yang cukup memacu andrenalin, akhirnya saya bisa menikmati apa yang saya mau. Terbayar sudah ketegangan ini. Ternyata ada hikmahnya juga salah jalan siang tadi. Saya bisa leyeh-leyeh di daerah Lembang sebelum menuju Sarijadi. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H