Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Bersepeda ke Jatiwaringin

31 Desember 2018   08:38 Diperbarui: 31 Desember 2018   14:17 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


JATIWARINGIN. Daerah yang tidak jauh dari Pondok Gede dan sekitarnya. Tetapi lumayan jauh bagi kita yang tinggal di Tangerang. Saya merasa tertantang untuk mengunjungi daerah tersebut dengan bersepeda. Alhamdulillah sukses tanpa ada halangan apapun. Dan begini ceritanya.

Suatu hari saya membuat janji untuk bertemu dengan penulis novel era 70-an Maria A.Sardjono. Beliau adalah salah satu penulis idola saya yang kini tinggal di Yogyakarta. Sebelum pindah beliau tinggal di daerah Jatibening. Dan saya pernah berkunjung ke rumah beliau dengan mengendarai sepeda motor.

Ketika beliau berkunjung ke Jakarta, ini merupakan momen dimana saya bisa temu kangen dengan beliau. Maka dibuatlah kesepakatan untuk bisa berjumpa di kediaman anak beliau. Begitu diberitahu alamatnya ternyata daerah Jatiwaringin. Saya pikir itu tidak jauhlah dari Pondok Gede. Berhubung saya pernah tinggal di sana jadi tidak terlalu asing dengan daerah Pondok Gede dan sekitarnya. Maka tercetuslah niat untuk bersepeda ke sana.

Bersepeda dari Tangerang ke Jatiwaringin? Iyes. Enggak masalah toh! Itu kan jauh? Memang benar jika dibayangkan. Tetapi ketika dijalani asyik saja tuh. Maka begitulah. Setelah tanggal dan jam pertemuan sudah ditentukan, saya pun bersiap memulai perjalanan. Tentu saja tanpa mengatakan kepada Bu Maria kalau saya ke sana bersepeda. Pasti tidak diijinkan. 

Pukul 05.00 WIB saya sudah star dari rumah di Kreo. Dengan malamnya sudah menyiapkan perbekalan berupa kotak sarapan, botol minum, alat sholat, alat kesehatan, pakaian ganti dan beberapa buah. Kesemuanya saya simpan di bagasi. Eh, ada satu lagi yaitu tongsis. Ini benda yang tak boleh dilewatkan karena sangat berarti bagi solo biker seperti saya. Untuk selfie tentunya.

Mengambil rute jalan Ciledug Raya arah Kebayoran lama, saya mulai melaju dari rumah untuk membelah jalanan. Tiba di depan universitas Budi Luhur saya membelok ke arah kanan menuju Bintaro. Saya kayuh sepeda mengikuti jalan. Tujuan saya adalah jalan kesehatan. Karena saya ingin memotong jalan menuju jalan TB Simatupang.

Sepeda saya kayuh dengan riang gembira karena bisa menghirup udara pagi yang sejuk. Tak terasa perjalanan saya tiba juga di daerah TB Simatupang. Lurus saja mengikuti jalan ini, nanti tiba di perempatan Cijantung baru dipikirkan mau melalui jalur mana lagi.

Di salah satu halte sekitar pintu gerbang tol TB Simatupang, saya hentikan laju sepeda ini untuk sarapan. Karena saat berangkat hanya minum susu dan roti. Dibawa berkayuh beberapa kilometer perut sudah terasa lapar lagi. Maka saya buka perbekalan dan santai sejenak di halte. 

Tak peduli beberapa pejalan kaki yang melirik dengan tatapan penuh tanya. Seharusnya kalau ingin tahu alias kepo ya tanya saja. Akan saya jawab dengan senang hati kok. Tetapi inilah kebanyakan masyarakat kita, rasa ingin tahunya tinggi tetapi enggan bertanya. Akhirnya membuat kesimpulan sendiri yang ujungnya salah. Tetapi tak mau disalahkan. 

Ada sekitar setengah jam saya beristirahat sekaligus membiarkan makanan yang sudah ludes ini tertata dengan rapi di lambung. Karena setelahnya makanan tersebut akan digiling supaya menjadi energi yang akan saya gunakan untuk melanjutkan perjalanan ini. 

Setelah dirasa cukup saya pun kembali melanjutkan perjalanan. Mengayuh dan mengayuh terus. Pada bagian jalan yang menanjak dengan santainya saya turun dan menuntun sepeda ini. Bisa saja saya paksa mengayuh tetapi nanti saya ngos-ngosan. Saya tak mau seperti itu. Santai saja. Toh tidak sedang mengejar medali.

Tak terasa perjalanan saya sudah tiba di perempatan Cijantung. Di sini saya sempat bimbang. Antara mengambil jalan lurus melalui terminal kampung rambutan atau belok kiri melalui pasar induk. Baru berbelok lagi yang arah TMII. Setelah dipikir sejenak saya memutuskan mengambil jalan lurus. Tidak terlalu ribet meski harus berjibaku dengan bus-bus besar. 

Maka begitulah, saya kayuh sepeda ini lurus melintasi terminal kampung rambutan. Konsentrasi penuh saya pancangkan. Karena saingannya bus-bus besar. Dan di pertengahan jalan ada tiga papan petunjuk jalan yang harus benar-benar dicermati agar tak salah mengambil jalur. Dengan sedikit tegang karena bus-bus yang mengarah ke jalur tol tak mau mengalah, akhirnya dengan lega saya bisa lolos dan masuk jalur yang saya pilih yaitu arah TMII.

Dengan sedikit memutari jalan akhirnya saya tiba di depan TMII. Seharusnya lurus saja mengikuti jalan sampai bertemu lampu merah yang mengarah ke pondok gede. Tetapi sudah di depan TMII maka harus mengabadikan momen dulu. Maka begitulah, sepeda saya belokkan kearah gerbang TMII untuk sekedar foto saja. Sebagai bukti otentik bahwa saya sudah bersepeda ke sana. Juga beberapa spot di sana saya gunakan untuk selfi. Bagi saya perjalanan tanpa dokumentasi sama seperti hoax. Jadi bukan untuk gaya-gayaan saja.

Sumber : dokpri
Sumber : dokpri
Puas mengambil gambar di sekitar TMII selanjutnya saya kayuh sepeda ini menuju arah Pondok Gede. Di perempatan jalan saya bersiap mengambil arah kanan. Begitu lampu hijau menyala saya pun langsung melaju di antara deru dan bising suara motor. Tiba di jalan yang agak lengang, saya berhenti sejenak untuk minum dan memotret papan petunjuk jalan. Yeaaahh...sudah masuk jalur Pondok Gede sorak hati ini.

Tak lama saya kayuh kembali sepeda ini. Lurus dan terus saja mengikuti jalan. Tiba di depan Monumen Pancasila Sakti, saya hentikan laju sepeda. Menyebrang sebentar untuk mengabadikan momen di depan pintu gerbang. Tukang ojek pangkalan memperhatikan sambil senyum-senyum. Saya balas dengan senyuman sambil berujar, "Harap maklum ya Pak. 

Saya dari Tangerang soalnya. Jadi untuk kenang-kenangan." Eh, mereka saling berbisik entah apa yang digumamkan. Saya sih asyik saja Selfi. Tiba-tiba salah satu dari mereka menghampiri. "Sini Neng saya potoin." Saya tersenyum melihat niat baik di bapak. "Terima kasih, Pak. Ini sudah cukup kok," tolak saya dengan halus. Lalu bapak ojek itu berujar lagi. "Kalau begitu terima ini Neng untuk beli minuman." Tentu saja saya kembali menolak. "Oh, tidak usah, Pak. Terima kasih banyak. Ini sudah bawa minum kok," sahut saya sambil bersiap menyebrang jalan. "Mari Pak!" 

Sumber : dokpri
Sumber : dokpri
Saya pun kembali mengayuh sepeda ini mengikuti arah jalan. Sambil menduga-duga, apa ya yang ada dipikiran mereka para ojek pangkalan tadi? Kok saya mau diberi uang. Kasihankah atau apa? Kalau merasa kasihan, duh... saya bersepeda ini happy-happy saja loh. Tidak merasa menderita. Kalau mau memberi sesuatu jangan karena kasihan ya Pak? Kalau sebagai penghargaan atas kenekadan ini, pasti saya pertimbangkan.

Kembali saya kayuh sepeda ini mengikuti arah jalan. Hingga akhirnya tiba di Pasar Pondok Gede. Di sini jalurnya satu arah sehingga kendaraan jalannya agak memutar. Saya konsentrasi penuh lagi karena saingannya angkot-angkot yang tak mau mengalah. Selain itu sambil memperhatikan papan petunjuk jalan untuk saya menentukan arah yang akan dipilih. Luruskan? Belok kirikah atau belok kanan. Akhirnya saya ambil arah kiri yang menuju Bekasi. Huaaaahhh... rasanya lega begitu keluar dari himpitan angkot-angkot kecil.

Jarak beberapa kilometer setelahnya saya berhenti sejenak untuk istirahat. Saya berhenti di dekat tukang buah keliling. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Pantas terik mentari mulai menyengat kulit. Daging buah semangka yang merah menyala berbalut lelehan es membuat saya bernafsu untuk menjamahnya. Maka beberapa iris semangka ludes saya lahap. Tukang parkir yang juga mulai merasakan teriknya mentari ikut menghampiri tukang buah keliling ini. Saya manfaatkan kesempatan itu untuk menanyakan alamat yang saya tuju.

"Oh, ibu masuk jalan kecil di seberang jalan itu saja. Pokoknya ikuti saja jalan itu. Nanti tembusannya komplek yang ibu cari. Itu jalan tembus. Daripada ibu lurus terus. Jauh dan memutar," ujar tukang parkir memberi penjelasan. Wah, berarti sudah dekat pikir saya. Langsung saja saya kembali melanjutkan perjalanan. 

Dan benar saja. Begitu saya ikuti petunjuk tukang parkir tadi, saya sampai di komplek yang dituju. Bukan main senangnya hati ini. Hal pertama yang saya cari adalah Musalla atau masjid. Karena sudah tiba waktu Zuhur. Selain itu saya juga ingin membersihkan badan dan berganti pakaian. 

Sumber : dokpri
Sumber : dokpri
Setelah menemukan Musalla, saya membersihkan badan dan segera menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Tak terkira rasa syukur saya dalam doa-doa yang dipanjatkan. Karena berhasil tiba ditujuan tanpa ada halangan. Setelah itu saya segera mengabari Bu Maria dan mengatakan posisi saya. 

Selanjutnya meluncurlah saya ke nomor rumah yang diberikan. Begitu tiba di depan rumah, Bu Maria sudah menunggu. Beliau terkejut melihat saya mengendarai sepeda. "Loh! Nak, kamu bersepeda dari Tangerang? Ya, ampun. Berani sekali. Itu kan jauh. Ayo masuk!" 

Saya hanya senyum-senyum saja. Usai memarkir sepeda kami berpelukan penuh rasa haru. Layaknya ibu dan anak. Bahagia bisa bertemu kembali. Kami berbincang-bincang melepas rindu dan bercerita tentang banyak hal. Tak terasa hampir dua jam saya bertamu. Sebelum pukul 14.00 WIB saya segera pamit. Karena waktu sudah menunjukkan saat-saat untuk beristirahat. 

Saya tidak ingin menyita waktu istirahatnya. Mau meluangkan waktunya demi berjumpa dengan saya itu sudah kebahagiaan tersendiri. Padahal hari itu seharusnya beliau akan diajak pergi oleh anaknya. Jadi dengan segera saya pun mohon diri. 

Lega rasanya sudah menuntaskan setengah dari perjalanan ini. Selanjutnya masih harus berjuang menuju jalan pulang. Karena arah pulang maka saya lebih santai. Sebab jalur yang akan dilalui pun sudah jelas. Di pertengahan jalan setelah pasar Pondok Gede menuju arah pulang, saya melihat warung Sego Pecel. Lidah Jawa ini lantas saja menggeliat minta mencicipi. 

Akhirnya saya arahkan sepeda ini ke warung untuk makan Sego Pecel. Berhubung belum terlalu lapar, hanya kepingin saja maka saya memesan satu porsi pecel tanpa nasi. Minumnya segelas teh hangat. Wah, nikmat sekali rasanya. 

Sumber : dokpri
Sumber : dokpri
Usai menikmati pecel dan istirahat sejenak. Saya kembali mengayuh sepeda ini. Perjalanan masih jauh. Berhubung arah pulang dan jalur sama yang dilalui. Jadi tak ada spot-spot untuk ber-selfie ria. Maka saya pun konsentrasi mengayuh sepeda. Mengayuh dan mengayuh terus. Hingga akhirnya tepat pukul 18.00 WIB saya sampai di rumah tanpa halangan sedikit pun. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah atas perlindungan-Mu. 

Bersepeda sejauh ini asal mau dan yakin atas keberadaan-Nya. Semua bisa dilalui dengan indah. Saya sudah membuktikannya. Yuk bersepeda! Enggak usah jauh-jauh, sekitaran komplek rumah saja. Yakin deh bisa bikin happy. Apalagi kalau ketemu gebetan. Ups! (EP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun