RINDU. Perasaan yang tiba-tiba muncul tanpa perencanaan. Tidak melulu terhadap sesama mahluk hidup. Tetapi bisa juga terhadap suasana dan nuansa yang pernah dialami. Dan ini yang pernah saya rasakan. Rindu akan tradisi yang terjadi saat berada di pedalaman Baduy.
Beberapa tahun yang lalu saya pernah mengikuti perjalanan ke Baduy dalam. Sebuah suku yang dikenal sangat menjaga adat istiadat dan tradisi yang telah diterapkan. Tak bergeming atas kemajuan teknologi dunia luar.
Baduy adalah suku yang mendiami daerah pegunungan Kendeng, desa Kanekes. Berada di wilayah Leuwidamar, Lebak, Banten. Baduy terbagi menjadi dua wilayah perkampungan.Â
Yaitu perkampungan Baduy Luar dan Perkampungan Baduy Dalam. Di perkampungan Baduy Luar tradisi yang dijalankan masyarakat setempat berbeda dengan tradisi yang ada di perkampungan Baduy Dalam.Â
Di perkampungan Baduy Luar kita masih bisa menjumpai masyarakat sekitar yang penampilannya seperti orang kebanyakan. Yang mengenakan kaos atau daster. Tapi tidak demikian dengan masyarakat yang ada di perkampungan Baduy Dalam. Masyarakat di sana hanya mengenakan pakaian dari hasil tenunan mereka juga.Â
Tak hanya itu, banyak larangan-larangan lain seperti tak boleh menggunakan sabun dan pasta gigi saat mandi di sana. Agar tidak mencemari sungai. Sebab sungai merupakan sumber kehidupan di sana. Tempat untuk mengambil air masak dan juga tempat melakukan aktivitas bersih-bersih badan serta mandi dan juga mencuci pakaian. Â
Jadi pada saat berada di perkampungan Baduy Dalam kita akan melihat lalu lalang masyarakat di sana, terutama kaum perempuan yang wira-wiri ke sungai dengan tubuh terbuka, hanya mengenakan kemben. Tanpa alas kaki. Menjinjing bakul berisi cucian atau menggendong bambu yang digunakan untuk mengambil air. Atau hendak mandi di sungai begitu saja.
Ya, begitu saja. Artinya tinggal melepas kain yang dikenakan dan meletakkannya dibalik bebatuan. Lalu dengan santainya mereka berendam di dalam air sungai untuk membersihkan tubuh. Dan itu yang juga saya alami saat berada di sana. Agak malu karena tak terbiasa. Tapi seru saat mengenang semua.
Di perkampungan Baduy dalam tak ada aliran listrik. Jadi pada malam hari suasana begitu gelap pekat. Hanya lampu-lampu minyak yang mereka gunakan sebagai penerangan di rumah-rumah. Karena sudah terbiasa, anak-anak tetap lincah bermain dan berlari-lari dalam gelap. Saya memilih duduk manis sambil menikmati suguhan teh yang disediakan.
Cara minum teh mereka pun tidak seperti yang biasa saya lakukan. Di sini saya disuguhi segelas teh tawar hangat dalam gelas yang terbuat dari bambu. Lalu semangkuk irisan gula aren dalam mangkuk yang terbuat dari batok kelapa.Â
Untuk menikmati teh hangat tersebut saya harus mengulum gula aren yang sudah disediakan. Baru mencecep teh tawar yang ada di gelas bambu. Awalnya kikuk dan bingung saja. "Kenapa tidak dicampur dan diaduk langsung saja seperti kebiasaan saya dalam menyeduh teh." Tetapi itulah adat kebiasaan mereka. Yang ternyata seru dan mengasyikkan juga. Dan saya rindukan kembali ketika sudah kembali ke rumah.
Ditemani sekerat kue rangi asli Betawi, rasanya sudah nikmat sekali. Cukup sebagai pelepas rindu akan suasana ngeteh di perkampungan Baduy Dalam. Sebab untuk mengulang perjalanan ke sana tak mudah.Â
Butuh fisik kuat dan mental baja. Sebab kita benar-benar berjalan kaki untuk memasuki perkampungan Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Luar biasa, sebab masih tetap terjaga seperti itu.Â
Padahal jaraknya dengan ibukota tidak terlalu jauh dan terbuka luas akses untuk menuju modernisasi. Tapi itulah Baduy. Suku yang masih kuat menjaga tradisi. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H