Mohon tunggu...
Deni Firman Nurhakim
Deni Firman Nurhakim Mohon Tunggu... Penulis - Santri dengan Tugas Tambahan sebagai Kepala KUA

Penghulu Kampung yang -semoga saja- Tidak Kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mendongkrak Angka Kredit Jabatan Penghulu

11 Desember 2022   21:41 Diperbarui: 11 Desember 2022   21:47 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deni Firman Nurhakim

Kepala KUA Kecamatan Cibuaya Kantor Kementerian Agama Kab. Karawang. Penulis Buku “Teknik Advokasi Penganggaran Daerah”, “Bunga Rampai Pemikiran Penghulu Karawang”, “Pedoman Memimpin Akad Nikah dengan 3 Bahasa (Indonesia, Arab, Inggris)”, dan “Tata Upacara Akad Nikah di Karawang”.

Ada yang berpendapat, bangsa Indonesia lebih dikenal sebagai bangsa yang didominasi budaya bicara (oral) daripada budaya tulis (literal). Indikasinya, di negeri ini kita lebih mudah menemukan orang yang suka berbicara daripada menulis. Indikasi lainnya, bisa ditemukan lewat jumlah judul buku yang diterbitkan di Indonesia yang menurut data tahun 2020 (Trimansyah, 2022) berkisar 144.793 judul saja, padahal jumlah penduduknya sebanyak 276,4 juta jiwa. Tertinggal dari Inggris -yang nota bene lebih sedikit penduduknya, hanya 67 juta jiwa- yang bisa menerbitkan 184.000 judul buku di tahun yang sama.

Semakin banyak judul buku yang diterbitkan selain menandakan tingginya produktifitas menulis suatu bangsa, juga menunjukkan tingginya minat membacanya. Dan dengan tingginya minat membaca suatu bangsa berpengaruh signifikan pada budaya tulis mereka. Karena kunci utama menulis adalah membaca. Baik membaca dalam pengertian sempit (tersurat) seperti membaca buku, majalah, koran; maupun membaca dalam arti luas (tersirat) seperti membaca alam, pengalaman, dan sebagainya.

Penghulu dan Kegiatan Menulis

Dominasi budaya oral sebagaimana tergambar di atas tampaknya juga melanda umumnya PNS, tak terkecuali penghulu. Lebih mudah menemukan penghulu yang pandai merangkai kata lewat pidato daripada tulisan. Hal itu bisa terlihat dari minimnya jumlah karya tulis ilmiah (KTI) buah pena penghulu yang dimuat di media massa, apalagi yang diterbitkan dalam bentuk buku. Padahal, bagi penghulu sebagai penyandang jabatan fungsional, KTI bisa menghasilkan angka kredit yang lebih besar dibandingkan tugas rutin pelayanan dan bimbingan nikah/rujuk.

Sebagai gambaran, tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 9 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Penghulu, bahwa untuk setiap satu peristiwa pencatatan nikah/rujuk, secara kumulatif Penghulu Ahli Pertama diganjar angka kredit 0,10; Penghulu Ahli Muda 0,16; Penghulu Ahli Madya 0,25; dan Penghulu Ahli Utama 0,32. Jadi, bisa dibayangkan betapa lamanya waktu yang diperlukan guna mengumpulkan angka kredit hingga cukup untuk kenaikan pangkat dan jabatan yang berkisar antara 50 sampai dengan 150 jika hanya mengandalkan kegiatan rutin tersebut. Bandingkan dengan kegiatan menulis KTI di bidang kepenghuluan dan hukum Islam yang skor terendah per-karya adalah 1,5 dan tertinggi adalah 12,5. Tapi sayangnya, belum banyak penghulu yang mendulang angka kredit lewat kegiatan menulis. Alasannya klise: merasa tidak bisa menulis.

Menulis itu (Sebenarnya) Mudah

Banyak penulis yang mengatakan, resep untuk menjadi penulis hanya tiga: pertama, ada kemauan; kedua, mulai menulis; dan ketiga, terus menulis. Jadi, sangat keliru kalau ada yang beranggapan kemampuan menulis itu adalah 100 persen bakat. William Faulkner, penulis Amerika, -seperti dikutip Zuhra (2009)- menyatakan 90 persen kemampuan penulis dihasilkan lewat pembelajaran, yaitu latihan menulis. Hanya 10 persen saja yang terkait dengan faktor bakat. Bahkan menurut Putu Wijaya, salah satu penulis ternama Indonesia, faktor bakat berpengaruh tak lebih dari 5 persen. Itu berarti faktor bakat tidak cukup dominan mengarahkan seseorang menjadi penulis atau tidak. Justru faktor pembelajaranlah yang cukup dominan berpengaruh.

Terkait dengan hal di atas, Mohamad Sobary, seorang kolumnis, dalam sebuah kesempatan kursus menulis pernah menyatakan, "belajar menulis itu ibarat belajar berenang. Kalau mau cepat bisa berenang mulailah nyebur ke air dan coba berenang. Begitu pula, kalau mau cepat bisa menulis, segeralah menulis dan teruslah menulis. Karena, betapapun seringnya kita mengikuti kegiatan kursus menulis atau membaca buku-buku teori menulis, hasilnya akan nihil bila kita tidak segera menulis". Pendeknya, menulis itu sebenarnya mudah. Asal, ada kemauan dan sedikit paksaan.

Tips bagi Penulis Pemula

Tidak sedikit penulis pemula yang memutuskan berhenti menulis karena sering mengalami kehabisan kata-kata. Padahal, orang yang terbiasa menulis sekalipun adakalanya mandeg saat mulai menulis lagi. Jadi, Tips Pertama, santai saja bila saat mulai menulis agak tersendat-sendat. Penulis profesional pun kalau sedang macet dalam menuangkan ide, ya... buntu. Setidaknya, demikian pengakuan Imam B. Prasodjo (Kolumnis dan Sosiolog UI) kepada penulis dalam suatu kesempatan kuliah di tahun 2002.

 

Tips Kedua, supaya tidak sering kehabisan kata-kata, disarankan bagi penulis pemula untuk membuat 'semacam outline'. Disebut 'semacam outline', karena memang pembuatannya tidak harus sama dengan outline seperti dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Yang terpenting, ada gambaran alur tulisan yang hendak dibuat: topiknya apa, pembukaannya bagaimana, isinya seperti apa, lalu akhirnya bagaimana.

Lantas, bagaimana supaya tulisan kita tidak kering, kaku, dan membosankan? Jawabannya adalah Tips Ketiga, saat menulis selain menggunakan logika, libatkan juga perasaan kita. Karena kalau semata-mata logika, tulisan kita akan terasa seperti deretan rumus: rumit dan kaku. Begitu pula, kalau hanya perasaan, tulisan pun akan kehilangan sisi logisnya. Sebagai langkah awal, penemu metode Quantum, DePorter (2009:27), menyarankan bagi penulis pemula untuk menulis apa saja -meski tidak logis, biar saja- yang ada dalam pikiran dan perasaan kita. Metode "menumpahkan ide" ini merangsang kita menulis spontan dan membuat pikiran kita terfokus.

'Alaa kulli haal, sekarang buang jauh-jauh alasan klise 'tidak bisa menulis'. Karena faktanya, kita pernah menulis, setidaknya menulis pesan di WA. Bahkan, kalau mau ditambahkan fakta-faktanya, bukankah kita -meski mungkin dengan susah payah- pernah menulis Skripsi atau tugas akhir kuliah lainnya,  juga pernah menulis konsep proposal, laporan bulanan dan tahunan kantor kita?! Lalu masihkah kita akan berlindung di balik kata-kata "tidak bisa menulis" tadi saat peluang untuk mendongkrak pangkat/jabatan lewat kegiatan menulis terbuka lebar? Padahal, dengan menulis tidak hanya poin (angka kredit) menjadi tercukupi tapi juga bisa menambah pundi koin kita, alhamdulillah. Jadi, ayo jangan hanya jadi pembaca tulisan orang lain saja. Jadilah penulis yang tulisannya dibaca orang lain! Semoga bermanfaat. Wallahua'lam bis showab.

***

 

Daftar Pustaka

DePorter, Bobbi. "Quantum Writer". Bandung: Kaifa, 2009;

Trimansyah, Bambang. “Menyoal Lagi ISBN dan Data Perbukuan Kita”, (Kolom) di www.news.detik.com, 09 Juni 2022;

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 9 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Penghulu;

Zuhra, Wan Ulfa Nur. "Budaya Menulis", (Artikel) di www.harian-global.com, 03 Agustus 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun