Banyak perempuan Dunia Ketiga menjadi terserap daya global ini dan tercerabut dari akarnya. Banyak intelektual perempuan Dunia Ketiga adalah produk pencerabutan ini seperti tokoh Nyai Ontosoroh.
Nyai Ontosoroh sebagai produk Dunia Ketiga telah mengalami penjajahan dari sistem kolonial. Ia pun harus bersaing dengan kaum laki-laki Eropa ataupun dengan perempuan produk Dunia Pertama.Â
Oleh sebab itu, ia harus dapat mengembangkan dan memposisikan diri sebagai superior supaya tidak tertindas atas kekuasaan mereka. Dalam kajian poskolonial, aspek penjajah dan terjajah merupakan dua hal yang saling mendefinisi dan mempengaruhi pencitraan antara satu dan yang lainnya.Â
Kaum penjajah menganggap dirinya lebih superior dan berhak melakukan justifikasi kepemilikan dan penjajahan atas hak-hak orang lain, sedangkan kaum terjajah berhak untuk dijajah karena defisiensi, kebodohan, dan subordinasi mereka yang permanen dan alamiah.
Adanya diskursus kolonial tersebut tidak terlepas dari pencitraan akan sesuatu yang dikatakan sebagai Timur atau the other sebagai bangsa yang bodoh, tidak beradab, dan pusat kegelapan.Â
Selain itu, koloni juga difeminisasikan, dainggap pasif, permisif, eksostis, misterius, dan menggoda secara seksual. Â Sesuatu yang dikatakan feminin tidak akan menjadi feminin jika tidak ada pembandingnya.Â
Oleh karena itu, Barat memposisikan dirinya sebagai maskulin yang aktif, dominan, heroik, rasional, dan asketis. Barat selalu ingin berkuasa atas Timur dan menganggap dirinya lebih baik dariapada Timur.Â
Akibat kolonialisme tersebut telah menjamah ranag gender dan menimbulkan dampak buruk bagi kaum perempuan yang terkonstruks memiliki sifat femininitas yang dapat dijajah oleh kaum laki-laki yang identik dengan sifat maskulinitas.
Namun, Pramoedya Ananta Toer mengangkat martabat kaum perempuan pribumi atau perempuan Dunia Ketiga pada masa kolonial yang identik dengan kaum rendah dan dipandang sebelah mata oleh sistem patriarki dan sistem kolonial.Â
Pram mengubah image mengenai perempuan pribumi tersebut dengan cara meniru kebudayaan perempuan Eropa untuk dapat menentukan kehidupannya sendiri. Sifat femininitas yang dimiliki kaum perempuan pribumi diiringi dengan sifat maskulinitas untuk dapat bersaing dan masuk ke ranah publik.Â
Peran ganda pun telah dilakukannya dengan baik, mereka berperan di ranah domestik yang telah menjadi kodrat: melahirkan, mengurus anak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga, dan merekan pun berperan di ruang publik untuk mencari nafkah dan bekerja di luar untuk menghasilkan perekonomian yang akan membuatnya menjadi makhluk yang mandiri.