Cita-cita ayah untuk naik haji akan segera terlaksana. Ayah ingin sekali untuk menunaikan rukun islam yang kelima itu. Tentunya bersama ibu. Ayah sudah menabungkan sebagian rezekinya saat ayah dan ibu berniat untuk naik haji. Setelah aku menanyakan kepada ibu, ibu mengatakan kalau ayah mulai menabung setelah satu tahun menikah. Jadi sudah hampir sepuluh tahun. Saat ini waktunya untuk menuai hasil usaha dan doa ayah serta ibu.
Lekas berita ini tersebar di sekitar rumahku. Para tetangga menanyakan kebenarannya tentang keluargaku untuk naik haji. Mereka sangat bangga dan memuji keluargaku. Tetapi pujian tetap hanya untuk Allah semata.Â
Apa lagi jika ada orang-orang yang selalu berpikiran buruk tentang orang lain. Ada yang berpendapat bahwa keluargaku mendapat hadiah atau bonus.Â
Ada yang memberi cerita bahwa semua pembicaraan keluargaku akan naik haji adalah sebuah kebohongan. Ya, begitulah manusia. Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda.
Semua pendapat yang menyebar di luar dianggap angin lalu saja oleh orang tuaku.
"Kita tidak boleh memiliki dendam kepada siapa pun. Mereka mau bicara apa, biarkan saja. Toh kenyataannya kita tidak melakukan hal yang salah." Ucap ayah.
"Sumuhun. Iya." Ujar ibu dengan logat sundanya.
"Aduh, keluarga kita sudah seperti artis saja. Digosipin!" ucapku sambil bercanda.
***
"Akbar, katanya kamu mau ikut naik haji?" tanya Nurma ketika kami dalam perjalanan ke pesantren.
"Iya, kamu kan masih kecil?" ucap Rahmat.