Sastra Lisan & Eksistensi Wayang Kulit   Â
(ADS)
Tradisi lisan atau folklor lisan bisa berbentuk cerita, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat.Â
T W.R. Bascom dalam bukunya Four Functions of Foklore (1954) mengatakan bahwa tradisi lisan (folklor) mencerminkan suatu aspek kebudayaan, baik yang langsung maupun yang tidak langsung, dan tema-tema kehidupan yang mendasar, misalnya kelahiran, kehidupan keluarga, penyakit, kematian, penguburan dan malapetaka, atau bencana alam yang universal.Â
Oleh sebab itu, tradisi lisan di Indonesia dapat mencerminkan masyarakat dari daerah-daerah  tertentu seperti pertunjukan wayang kulit dari Jawa Tengah, wayang golek dari Jawa Barat, lenong dari Betawi, tarian rakyat, dan sebagainya.Â
Cerita tradisi lisan yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia yang berbeda ini mengandung norma-norma kehidupan yang patut dijadikan contoh dalam kebiasaan dan kehidupan sehari-hari, tidak hanya di lingkungan sosial tertentu, tapi juga dalam lingkungan masyarakat luas pada umumnya.
Tradisi lisan sebagai warisan budaya nusantara makin kurang mendapat perhatian lantaran kurangnya penggalakan kepada generasi penerus.Â
Akibatnya, generasi penerus lebih mengenal budaya pop ketimbang budaya tradisional, padahal tradisi lisan banyak mengandung kearifan lokal.Â
Dilihat dari medium ekspresinya, lisan, merupakan ciri umum kebudayaan tradisional. Aspek lisan itu memberi isyarat bahwa tradisi lisan dalam aktualisasi komunikasinya selalu menghendaki kehadiran pendengar.
Sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi lisan merupakan kebudayaan Indonesia yang mula-mula sekali tumbuh dalam masyarakat Indonesia bersama-sama dengan kelahiran bangsa Indonesia di dunia.Â
Seperti halnya keberadaan wayang kulit di Indonesia yang sebenarnya sudah dimiliki oleh masyarakat Indonesia sebelum orang-orang mengatakan bahwa munculnya wayang kulit berasal dari kebudayaan India atau dari negara lainnya.