Memantau berita pagi ini tentang opini om Rocky Gerung di ILC tadi malam, membuat bibir saya yang sedang sariawan ini sedikit tersungging. Pun tajuk berita yang tertulis begitu mencolok: menurut om Rocky, Kitab Suci adalah Fiksi. Saat isteri saya melintas dan memerhatikan sungging ini ketika mata saya tak lagi memandang layar ponsel, reaksinya terlihat begitu manis. Ia membalas senyuman saya dengan senyuman terindah yang tak kalah manisnya. Membuat latar pagi ini terasa berbeda.
Tentunya istri saya tidak menyadari rasa sakit yang saya alami beberapa hari ini terasa sangat mengganggu karena saya memang belum memberitahukan perihal ini kepadanya. Saya anggap sariawan itu urusan sepele. Lalu apa yang membuat ia melemparkan senyuman termanis itu? Tumben.
Apakah karena senyuman ini ditafsirkannya sendiri secara 'subjektif' bahwa saya telah bersikap manis padanya? Bagaimana jika ia telah mengetahui kalau saya terkena sariawan dan tersungging padanya saat masih sesekali menatap layar ponsel? Mungkin percakapan pagi ini akan seperti:
"Kok gak beli obat ke apotek. Katanya sariawan, enggak sakit apa cengar-cengir begitu?!" Ujar Isteriku
"Ibu gak tau apa obat sariawan langganan sudah ditarik dari peredaran?"
Bla bla bla seperti pagi biasanya. Sungging senyuman saya mungkin dianggapnya "yang disebut kebenaran" dan bukan "kebenaran" itu sendiri.
Belum sempat selubung informasi ini terungkap, seorang sahabat lama datang bertamu. Rasanya sudah cukup lama kami tak bertemu. Dari sekian kawan yang saya kenal, dialah satu-satunya sahabat yang paling tahu segala sifat dan seluk-beluk rumah tangga saya selama ini.
Kami berbincang segala hal. Dari narasi besar tentang negara yang akan bubar sampai urusan sariawan. Saya sempat tanya, obat apa yang paling ampuh selain obat 'anu' untuk menyembuhkan sariawan yang paling cespleng! Dia bilang: "Makan saja buah-buahan. Jauhi pikiran, stres, depresi dan lain-lain karena segala penyakit yang datang itu berawal dari pikiran!"
Jika semua masalah kesehatan dan penyakit tergantung sepenuhnya 100% pada pikiran, buat apa ada dokter? Cukup seorang psikolog, maka beres semua penyakit!
Tapi sesebal-sebalnya pada sariawan ini, masih kalah nyeri kisah sahabat saya. Ia curhat masih belum bisa melupakan isterinya. Rumah tangganya berakhir setelah dua tahun usia pernikahan karena orang ketiga. Saya bilang: "Cara menyembuhkan sakit karena wanita adalah dengan wanita lagi. Kamu ganteng, sukses, pasti ada wanita di luar sana yang bisa mengganti posisinya." Eh, usul asal saya diterima. Dia jadi lebih antusias, lebih percaya diri.
Mengapa sahabat saya begitu saja menerima saran yang saya berikan? Apakah karena inter-relasi kami terjalin cukup baik sehingga 'kebenaran' yang saya sampaikan ia terima begitu saja, meski usulnya tentang sariawan tak saya gubris? Apakah ini semacam model pengejawantahan konsensus yang toleran dalam bingkai heterogenitas?
Mengulik perihal sariawan ini sangat bisa didedah dengan akal budi. Apa penyebabnya, gejalanya, atau proses penyembuhannya. Tapi saya tidak bisa berpura-pura atau mengada-adakannya. Saya bisa saja tak memberitahukan ini kepada sahabat atau isteri saya, tapi 'kebenaran' bahwa ia ada di balik bibir dower yang tersembunyi ini tak bisa saya elak.
Atau bisa saja saya mengeluhkan sariawan padahal tidak, tetapi akal budi isteri saya, atau dokter umumlah yang kelak akan mengecek, dan mengelaborasi penemuan-penemuan empirisnya melalui satu dari sekian ilmu pengetahuan untuk mengungkap 'selubung' itu. Mungkin inilah analogi 'kebenaran objektif' kata orang-orang pintar bilang.
Karena sejarah proposisi teori filsafat yang berkecambah dan saling mengkoreksi satu sama lain---bahkan seringkali mengkoreksi teori si filsuf itu sendiri---Era mutakhir kerap terperangkap dalam kanal 'baru' yang 'tidak sepenuhnya baru', katakanlah postmodernisme, atau kata keren tahun 2016 lalu, 'post-truth'.
Apa yang modern dari paska-modern? Apa yang benar dari paska-kebenaran? Memperdebatkan kebenaran mungkin tak akan selesai sampai lebaran kuda. Tokoh sahabat saya di atas bisa dikatakan masuk dalam kategori ini, bagaimana sebuah 'kebenaran' ditentukan oleh kohesifitas inter-relasi ruang dan waktu tertentu. 'Kebenaran' ditentukan kualitas hubungan antar manusia di wilayah tertentu. Partikular. Relatif.
Om Rocky memulainya dengan upaya pemaknaan peyoratif. Melebarkan makna antara fiksi dengan fiktif. Ada artikulasi pemaknaan 'membuat' atau ektremnya 'merekayasa' disana. Afiksasi memang membentuk kata, tapi tak lantas merubahnya atau lepas sama sekali dari makna awal.
Opini yang membenarkan corak naratif sebuah fiksi dan membandingkannya dengan corak imperatif #2019ganti presiden, saya rasa tak lebih dari sekadar bentuk, bukan definisi yang otoritatif semisal KBBI; fiksi adalah rekaan, khayalan.
Bukankah nasib yang sama berlaku juga pada istilah 'pencitraan' dari kata dasar 'citra'. Atau 'diamankan' dari kata 'aman' yang telah berkonotasi lain. Ia memberi rasa (tafsir), namun substansinya tak tercerabut. Yang memberi makna? Oknum. Kita. Politisi. Siapa saja. Itu saya sepakat.Â
Lho dalam hidup keseharian kamu yakin sudah otentik, apa adanya, tanpa pencitraan, bertingkah laku tanpa motif?
Seorang penulis, Eka Kurniawan, dalam blognya menulis pertanyaan yang relevan: Adakah kebenaran dalam fiksi? Jawabnya, "Saya ragu. 100% meragukannya." Bahkan, minimal ia meragukan sendiri kebenaran dalam karya-karyanya. Kebenaran apa? Â Ya tergantung konteks pembicaraan mau diarahkan kemana. Kebenaran objektif, relatif, atau logis semata.
Fiksi umumnya masuk dalam kanal 'kebenaran' atas dasar penalaran-penalaran logika tok. Gaya narasi serealistis bagaimanapun juga bukanlah realitas itu sendiri. Ia punya ruangan khusus. Kalau fiksi sudah melangkah masuk kamar absolut/objektif dalam realitas, bergantung lagi seberapa panjang sumbu yang kita punya.
Apakah kebenaran isi sebuah cerpen, misalnya sama persis---tidak sekadar buah inspirasi---dengan kebenaran dalam kenyataan? Kalau dikatakan sama persis, saya jadi mafhum dengan segala cerminan simulakra dan hiper-realitas ini. Apalagi kalau hanya untuk sekadar meneguhkan motif politik tertentu.
Mungkin yang om Rocky maksudkan metafisika, bukan fiksi. Kalaupun tetap keukeuh fiksi, ya gimana netizen dan Prof aja, hamba ini apalah...
Cerita tentang 'isteri dan sahabat saya' di atas juga cuma fiksi kok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H