Mengulik perihal sariawan ini sangat bisa didedah dengan akal budi. Apa penyebabnya, gejalanya, atau proses penyembuhannya. Tapi saya tidak bisa berpura-pura atau mengada-adakannya. Saya bisa saja tak memberitahukan ini kepada sahabat atau isteri saya, tapi 'kebenaran' bahwa ia ada di balik bibir dower yang tersembunyi ini tak bisa saya elak.
Atau bisa saja saya mengeluhkan sariawan padahal tidak, tetapi akal budi isteri saya, atau dokter umumlah yang kelak akan mengecek, dan mengelaborasi penemuan-penemuan empirisnya melalui satu dari sekian ilmu pengetahuan untuk mengungkap 'selubung' itu. Mungkin inilah analogi 'kebenaran objektif' kata orang-orang pintar bilang.
Karena sejarah proposisi teori filsafat yang berkecambah dan saling mengkoreksi satu sama lain---bahkan seringkali mengkoreksi teori si filsuf itu sendiri---Era mutakhir kerap terperangkap dalam kanal 'baru' yang 'tidak sepenuhnya baru', katakanlah postmodernisme, atau kata keren tahun 2016 lalu, 'post-truth'.
Apa yang modern dari paska-modern? Apa yang benar dari paska-kebenaran? Memperdebatkan kebenaran mungkin tak akan selesai sampai lebaran kuda. Tokoh sahabat saya di atas bisa dikatakan masuk dalam kategori ini, bagaimana sebuah 'kebenaran' ditentukan oleh kohesifitas inter-relasi ruang dan waktu tertentu. 'Kebenaran' ditentukan kualitas hubungan antar manusia di wilayah tertentu. Partikular. Relatif.
Om Rocky memulainya dengan upaya pemaknaan peyoratif. Melebarkan makna antara fiksi dengan fiktif. Ada artikulasi pemaknaan 'membuat' atau ektremnya 'merekayasa' disana. Afiksasi memang membentuk kata, tapi tak lantas merubahnya atau lepas sama sekali dari makna awal.
Opini yang membenarkan corak naratif sebuah fiksi dan membandingkannya dengan corak imperatif #2019ganti presiden, saya rasa tak lebih dari sekadar bentuk, bukan definisi yang otoritatif semisal KBBI; fiksi adalah rekaan, khayalan.
Bukankah nasib yang sama berlaku juga pada istilah 'pencitraan' dari kata dasar 'citra'. Atau 'diamankan' dari kata 'aman' yang telah berkonotasi lain. Ia memberi rasa (tafsir), namun substansinya tak tercerabut. Yang memberi makna? Oknum. Kita. Politisi. Siapa saja. Itu saya sepakat.Â
Lho dalam hidup keseharian kamu yakin sudah otentik, apa adanya, tanpa pencitraan, bertingkah laku tanpa motif?
Seorang penulis, Eka Kurniawan, dalam blognya menulis pertanyaan yang relevan: Adakah kebenaran dalam fiksi? Jawabnya, "Saya ragu. 100% meragukannya." Bahkan, minimal ia meragukan sendiri kebenaran dalam karya-karyanya. Kebenaran apa? Â Ya tergantung konteks pembicaraan mau diarahkan kemana. Kebenaran objektif, relatif, atau logis semata.
Fiksi umumnya masuk dalam kanal 'kebenaran' atas dasar penalaran-penalaran logika tok. Gaya narasi serealistis bagaimanapun juga bukanlah realitas itu sendiri. Ia punya ruangan khusus. Kalau fiksi sudah melangkah masuk kamar absolut/objektif dalam realitas, bergantung lagi seberapa panjang sumbu yang kita punya.
Apakah kebenaran isi sebuah cerpen, misalnya sama persis---tidak sekadar buah inspirasi---dengan kebenaran dalam kenyataan? Kalau dikatakan sama persis, saya jadi mafhum dengan segala cerminan simulakra dan hiper-realitas ini. Apalagi kalau hanya untuk sekadar meneguhkan motif politik tertentu.