Mohon tunggu...
D. Hardi
D. Hardi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lahir di fiksiana sewaktu bulan terbelah dan sepoi angin mengembuskan sarin

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Prabowo: Mendadak Soekarno, Memuja Soeharto

5 Juni 2014   16:58 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:13 4407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo/Kompasiana (Kompas/Wawan H Prabowo)

[caption id="" align="aligncenter" width="592" caption="Prabowo/Kompasiana (Kompas/Wawan H Prabowo)"][/caption]

Politik adalah perang tanpa senjata, Clausewitz.

Pemilu Pilpres 2014 kali ini memang telah menarik perhatian seluruh lapisan masyarakat. Lebih terasa lagi karena calon presiden yang bertarung kali ini hanya tersedia dua pilihan saja. Berbagai fragmen masyarakat yang memang beragam latar belakang saling mengerucut pada dua persekutuan politik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.

Hasil koalisi politik yang telah terbentuk sedikit menimbulkan kesan dikotomi kekuatan yang seolah berlawanan. Beberapa suara masyarakat mengatakan ini pertarungan antara ‘Orba’ dengan ‘Orla’, ‘Soehartois’ dengan ‘Soekarnois’, meski saya cenderung lebih sependapat dengan beberapa suara lain yang mengatakan bahwa ada sebuah kemiripan dengan pemilu 1950-an, antara PNI-NU kontra PSI-Masyumi. Hanung Bramantyo dalam film ‘Soekarno’ sepertinya juga telah mengambil referensi dari berbagai literatur populer tentang pertikaian Soekarno dan Sjahrir, dua tokoh besar yang saling memiliki pengaruh politik. Pada akhirnya sejarah mencatat ‘kemenangan’ Soekarno dikarenakan pengaruhnya yang besar di seluruh lapisan masyarakat, bukan terbatas hanya di kalangan segelintir elit atau kelompok.

Pesona Soekarno memang fantastis. Ideolog dengan gagasan dan perbuatan yang besar untuk bangsa ini. Kelebihannya dalam menggalang massa buah dari sejarah komunikasi rakyat yang panjang. Sesuai dengan zamannya waktu itu, ia adalah satu dari sekian orator ulung negeri ini. sedangkan Soeharto, memilih mengambil kebijakan politik dengan logika yang berbeda. Keduanya adalah legenda kepemimpinan yang efektif dalam sejarah pemerintahan Indonesia. Persamaan ini sekejap tertutupi oleh bingkai hitam sejarah kebencian antar kedua penganut. Dan reformasi adalah dunia baru yang akan terus berproses.

Yang menarik jika dihubungkan dengan kontesasi kekinian dimana kedua capres berlomba menampilkan citra diri. Sejatinya, pencitraan adalah diksi dilematis dalam konteks politik saat ini. Benci tapi butuh. Dapat dipastikan, politikus dari dulu sampai sekarang memiliki jargon yang ampuh dalam mengambil hati massa, kalau tidak mengklaim diri ‘Soekarnois’ ya ‘Reformis’. Mereka sedikit alergi untuk sekadar ‘mencoba’ baju despotik rezim Orba, karena dirasakan tidak populis. Apalagi jika kemudian dipoles dengan sedikit kelihaian berpidato atau orasi berapi-api, postur tegap, dengan gaya bicara lugas seperti antusiasme keberpihakan para ‘pengamat perilaku’ khas narasumber TV One. Pencitraan atau bukan, hendaknya dapat dilihat dari beberapa parameter, namun yang utama adalah tidak manipulatif dan konsisten.

Akhir-akhir ini di beberapa media online Prabowo ditahbiskan mirip seperti Soekarno. Soekarno kecil tajuknya kira-kira demikian. Seragam safari putih dibuat sedemikian pasnya dengan iklan politik di televisi yang bernarasi mirip pembacaan teks proklamasi dengan diakhiri kalimat ‘Prabowo-Hatta’. Belum gegap tepuk tangan para pendukungnya di Deklarasi Damai beberapa waktu kemarin. Orasinya lancar, meski sangat normatif. Di depan televisi, Prabowo mewanti-wanti dan ‘menginstruksikan’ kubunya untuk tidak melakukan kampanye hitam, dan penghormatan terhadap lawan politiknya saat ini, yang sekali lagi sangat normatif.

Sedangkan Jokowi, sedikit berjeda, kaku, dan dingin. Ya, sedingin Don Ancelotti mereguk minuman kala El Real ‘menghabisi’ Atletico Madrid setelah sebelumnya tertinggal satu angka, menyamakan kedudukan di menit-menit akhir, lalu gemilang. Jokowi mulai memperlihatkan taring, tak lagi hanya bisa tersenyum ketika difitnah. Keaslian karakter itu bukan yang terlihat di panggung dan terucapkan di depan televisi. Dulu, Hitler yang orator, dikalahkan oleh seseorang yang bukan orator.

Kritik masyarakat mulai terdengar. Seperti dilansir di Kompas.com, pakar psikologi Hamdi Muluk mengatakan bahwa aneh jika Prabowo membentuk atau dibentuk citra dirinya seperti Soekarno, karena dulu Soemitro sang ayah adalah musuh politik Soekarno. Soemitro dinilai lebih dekat dengan kebijakan-kebijakan pro Amerika, sedangkan Soekarno sebaliknya.

Prabowo seperti menggunakan taktik secara sadar atau tidak, kemampuan adaptasi lingkungan bunglon. Dia bisa dengan cepat mengubah citra dan platform ideologi sesuai dengan lingkungan dimana saat itu dia berada. Tidak ada karakter sikap yang khas.

Kontradiksi kemudian bermunculan.

Adalah menggelikan jika seseorang politikus mengklaim diri seorang reformis namun ingin membubarkan institusi hukum produksi reformasi seperti KPK, misalnya. Gahar di awal-awal dengan gincu sosialis, mengklaim diri pengusung ekonomi kerakyatan, pengkritik kebijakan impor, namun kini mengaku akan melanjutkan kebijakan ekonomi pemerintahan SBY, dengan Hatta mantan Menko perekonomian sebelumnya sebagai wakil. Penjaga kebhinnekaan namun mengumandangkan ‘Perang Badar’ dan pembiaran kampanye SARA. Penjaga ‘kemurnian’ agama, tetapi tersangkut kasus penyalahgunaan wewenang dalam aktivitas keagamaan. Atau yang terbaru mewacanakan kembali Soeharto menjadi pahlawan nasional. Tak hanya aktivis ’98 dan pengamat, rakyatpun dibuat bengong. Dan semua unsur itu kini bersatu; kaum ‘reformis’, Orba, Soehartois, menggunakan jargon khas Marhaenis plus potensi fasis berbasis SARA. Seperti inikah koalisi berdasarkan platform dan ideologi? Tenda besar yang linglung. Mencomot ide-ide ‘kiri’ namun bersatu dengan milisi-milisi ‘kanan’.

Kita ingat, di penghujung karir politiknya, Soekarno semakin kasat mata dengan menggebu-gebu keukeuh menyatukan ide NASAKOM. Sebuah langkah perdebatan antara realisme politik, idealisme persatuan semua anak bangsa, atau kenaifan politik yang mulai kehilangan percaya diri.

Dan tampaknya saat ini ada yang terlalu bersemangat untuk cepat-cepat berkuasa. Assabiyah yang sporadis.

Jadi gimana, Soekarno atau Soeharto nih? Pasti jawabannya rekonsiliasi, sangat normatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun