Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), kini  hampir seluruh masyarakat Indonesia mengenal nama ini, putra pertama presiden ke-6  SBY tersebut memang tengah naik daun namanya semenjak Pilkada Jakarta 2017 lalu. Di mana ketika hasil hitung cepat menyatakan dirinya kalah dengan Anies dan Ahok pada putaran pertama, dengan kesatria AHY menggelar konferensi pers untuk mengakui kekalahannya, dan memberikan selamat kepada Anies dan Ahok yang masuk melaju keputaran kedua.
Strategi politik AHY terbukti jitu dikala itu dimana dengan membentuk kesan AHY berjiwa kesatria ketika mengakui kekalahannya pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Ternyata ketika AHY mengakui kekalahannya sebelum pengumuman resmi KPUD Jakarta, mengundang simpati publik terhadap AHY Â dan melambunglah nama AHY.
Pilkada DKI Jakarta mungkin dijadikan AHY sebagai batu loncatan atau gelanggang politik pijakan awal untuk memasuki gelanggang politik nasional. Nama AHY memang berkibar semenjak Pilkada DKI Jakarta, meskipun kontroversi menghampiri sosok ini. Karena bagaimana mungkin AHY yang masih merupakan seorang mayor dan masih memiliki karier cemerlang dalam tubuh militer, pada akhirnya secara kurang matang masuk kedalam riuhnya dunia politik.
Strategi membentuk citra positif AHY sebagai sang kesatria yang dewasa secara berpolitik dengan mengakui kekalahannya pada Pilkada DKI Jakarta 2017, ternyata terbukti ampuh membuat nama AHY masuk dalam bursa capres maupun cawapres. Karena meskipun ia mengalami kekalahan telak pada Pilkada DKI Jakarta 2017, tetapi ada bonus politik dengan masuknya nama AHY baik sebagai capres alternatif, maupun cawapres alternatif.
Sosok yang masih bersih dan masih jauh dari citra kurang baik yang melanda partai Demokrat akhir-akhir ini, ternyata dapat dinetralkan dengan adanya sosok AHY ini. Tetapi,apakah tidak terlalu cepat untuk terlalu buru-buru mendorong AHY memasuki gelanggang politik nasional?
Belajar dari kekalahan Pilkada DKI Jakarta 2017
Pilkada DKI Jakarta memang bisa dibilang pertarungan perebutan kursi kepala daerah yang paling sengit dan bahkan membuat kehebohan hingga merembet keseluruh penjuru nusantara. Meskipun banyak yang merasa bahwa pilkada Jakarta akan memunculkan konflik horizontal yang luas.
Ternyata tidak terbukti, karena seusai Pilkada Jakarta putaran kedua dengan cepat kondisi politik yang panas tadi langsung mereda, meskipun masih ada riak-riak di sana-sini. Tetapi tidak membuat konflik horizontal yang cukup serius, selain perdebatan antar pendukung dalam social media.
Ada yang cukup menarik di sini, di mana kubu pendukung Ahok bisa menjadi alat kontrol pemerintahan Anies yang berkuasa di Jakarta, dan saya rasa ini akan menjadi positif jika kritik-kritik yang disampaikan bersifat membangun.
Kembali ke sosok AHY tadi, kekalahan AHY pada putaran pertama memang menjadi bukti kualitas komunikasi politik Ahok dan Anies jauh mengungguli AHY. Apalagi selama ini DKI Jakarta selalu identik diikuti oleh figur militer minimal berpangkat Mayor Jenderal alias bintang dua.
Hal yang perlu menjadi pertimbangan AHY adalah kekalahan dirinya pada pilkada DKI Jakarta putaran pertama yang seharusnya bisa menjadi alat evaluasi bagi AHY, karena bagaimana mungkin seorang yang sudah kalah dalam pilkada DKI Jakarta, masih akan dimajukan pada politik nasional?