Mohon tunggu...
Muhammad Dendy
Muhammad Dendy Mohon Tunggu... Seniman - menulis adalah obat hati

"saya adalah orang yang selalu ingin belajar dan selalu ingin mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri saya"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Indonesia, Antara "Menekan" Myanmar dan Hubungan Diplomatik

4 September 2017   16:09 Diperbarui: 4 September 2017   17:16 5102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Myanmar adalah sebuah negeri di Asia Tenggara yang perjalanan kebangsaannya tidak pernah terlepas dari peran Militer. Pada tahun 1988, pemerintahan Junta Militer telah memegang kendali pada pemerintahan negara Myanmar hingga saat ini. Negara yang berawal bernama "Burma" ini berganti nama menjadi Myanmar, ketika pemerintahan Junta Militer berkuasa. Myanmar adalah negara kedua setelah Thailand di Asia Tenggara. Dimana Militer selalu ingin memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan sipil.

Dengan kendali militer dalam pemerintahan sipil pastinya sistem Politik Myanmar tidak Demokratis selayaknya Indonesia pada saat ini. Akan tetapi pada kali ini saya tidak akan membahas tentang sejarah negara Myanmar dan dominasi Militer dalam pemerintahan sipil Myanmar secara mendetail. Akan tetapi konflik kemanusiaan yang terjadi di Negara yang kini bernama Myanmar itu.

Konflik antara militer Myanmar dengan kelompok Minoritas muslim Rohingya kembali pecah. Setelah terjadinya Konflik besar pada tahun 2012 lalu. Konflik antara Militer Myanmar dengan kelompok Minoritas muslim Rohingya di Myanmar kembali pecah. Dan kali ini merupakan yang terparah dalam sejarah konflik antara Minoritas muslim Rohingya dengan pasukan pemerintah Myanmar.

Bagaimana tidak, berdasarkan pemberitaan media Online Kumparan.com. European Rohingya Council (ERC) mengatakan antara 2.000 dan 3.000 Muslim Rohingya terbunuh di negara bagian Rakhine hanya dalam waktu tiga hari, dari Jumat hingga Minggu lalu . Rabu (30/8/2017).

Bahkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Daniel Anzar Simajuntak mengatakan "Apa yang terjadi di Myanmar bagi saya bukan konflik, namun pembantaian. Pembantaian yang sudah lama berlangsung namun dunia seolah tak mampu berbuat apa-apa, namun, sekadar bersikap menunjukkan keprihatinan dan empati yang menurut saya basa-basi dalam pergaulan diplomasi perdamaian dunia.

Dunia seakan diam dan membisu pada tragedi Myanmar. Bahkan negara Indonesia itu sendiri lebih memilih "Soft Diplomasi" terhadap Myanmar. Padahal sebagai negara terbesar di Asia Tenggara serta sekaligus negara dengan jumblah Populasi muslim terbesar di dunia. Seharusnya Indonesia bisa menjadi "negara kunci" yang sangat penting dalam penyelesaian konflik antara Myanmar dengan Minoritas muslim Rohingya.

Dengan populasi muslim lebih dari 200 juta jiwa, serta pengaruh yang sangat besar terhadap organisasi ASEAN. Seharusnya Indonesia lebih aktif dan keras terhadap pemerintah Myanmar, yang seolah membiarkan pasukannya terus memburu rakyat sipil tak berdosa. Bahkan pemerintahan Myanmar seakan membuat citra buruk etnis rohingya kepada dunia. Dengan menyebut Rohingya Solidarity Organisation (RSO), sebagai ektrimis dan teroris berbahaya. Sehingga citra buruk etnis Rohingya pun seolah-olah ingin dibentuk oleh pemerintah Myanmar itu sendiri.

Padahal pergerakan militan Rohingya tersebut tak terlepas untuk melakukan pembebasan entis Rohingya yang pada saat ini merupakan etnis minoritas paling menderita di dunia.

Sekilas rasanya saya tidak percaya tragedi kemanusiaan yang merupakan salah satu yang terparah di dunia tersebut terjadi di benua Asia. Karena biasanya tragedi kemanusiaan paling seiring terjadi di benua Afrika. Karena sistem politik negara-negara Asia yang mayoritas lebih stabil. Dibandingkan sistem politik di benua Afrika. Apalagi tragedi kemanusiaan ini terjadi pada abad modern dan digital pada saat ini. Dimana proses Demokrasi dan Hak Asasi Manusia sudah populer dan menjadi isu yang sangat penting diabad modern pada saat ini.

Tragedi kemanusiaan ini pun bahkan sanggup membuat Dunia seolah "lunak" terhadap Myanmar. Khususnya pemerintah Indonesia. Yang hingga saat ini belum sekeras negara Turki dalam menindak tegas negara Myanmar.

Ada apa dengan pemerintah Indonesia? Apa yang mereka takutkan pada Myanmar? Tentu itulah mungkin yang ada dalam kepala saya, atau mungkin ada dalam kepala para pembaca. Bagaimana tidak, sebagai salah satu negara pendiri organisasi Asean. Serta dengan ekonomi terbesar di Asean. Apalagi ditambah dengan jumlah populasi umat muslim terbesar di Indonesia. Seharusnya Indonesia dapat menjadi penengah dan "Negara Kunci" untuk menghentikan Myanmar melakukan tindakan diskriminatif tersebut.

Dan tentu saja Indonesia memiliki sumber daya yang jauh lebih dari cukup, untuk memberikan penekanan pada Myanmar. Dan saya yakin Myanmar pun pasti akan takut dengan tekanan Indonesia. Apalagi dengan populasi yang mayoritas muslim yang selalu menjadi identitas negara Indonesia. Dapat menjadi alasan ketika Myanmar mengatakan "Jangan campuri urusan negara kami". Alasan tersebut adalah solidaritas sesama Muslim.

Bukan bermaksud SARA. Akan tetapi dengan cara pendekatan ideologis tersebutlah dapat menjadi senjata Indonesia untuk menekan Myanmar. Karena merasa memiliki persamaan Ideologis antara Muslim Rohingya dan masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam. Tentu saja Indonesia memiliki daya tawar cukup kuat untuk menekan myanmar.

Akan tetapi, ada rasa dilema dan ketakutan akan hubungan diplomatik antara Indonesia-Myanmar yang telah terjalin selama ini. Ditambah lagi Indonesia pernah menjadi salah satu negara penengah dalam perseteruan antara Kelompok Demokratis Aung San Suu Kyi, dengan kelompok Junta Militer Myanmar.

Sehingga tentu saja Indonesia seperti takut kehilangan hubungan Diplomatik dengan negara Myanmar. Apalagi Indonesia adalah salah satu negara yang mengakui keberadaan Junta Militer Myanmar. Menginggat masih ada beberapa negara Eropa yang menjunjung tinggi Demokrasi. Yang hingga saat ini tidak mengakui keberadaan pemerintahan Junta Militer Myanmar. Bahkan mereka masih memanggil Myanmar dengan sebutan "Burma". Karena merasa nama Myanmar adalah nama hasil ciptaan Junta Militer.

Sikap Indonesia yang lebih memilih Soft Diplomasi, atau langkah Lunak dalam mendorong Myanmar mengakhiri Konflik yang diskriminatif tersebut. Seakan membuat Myanmar merasa tidak bersalah. Dan tentu saja akan melakukan pembenaran akan mobilisasi kekuatan pasukan pemerintah untuk menekan etnis Rohingya. Dengan alasan memerangi militan Rohingya yang dianggap ekstrimis dan teroris.

Padahal selain merupakan negara Mayoritas muslim. Indonesia juga bisa menjadi contoh bagi negara Myanmar dalam hal toleransi dan kebhinekaan. Dimana Umat Mayoritas dan Minoritas bisa saling hidup berdampingan tanpa adanya konflik yang berarti.

Kekuatan diplomasi Indonesia khususnya untuk kawasan Asia Tenggara sudah tidak diragukan lagi. Harus kah dengan kekuatan yang besar dalam kawasan Asia tenggara tersebut Indonesia masih harus memilih jalan lunak terhadap Myanmar. Dan seakan-akan Indonesia merasa Dilema dipersimpangan Jalan yang harus memilih antara Hubungan diplomatik dengan Myanmar. Atau tragedi kemanusiaan yang menimpa Minoritas Muslim Rohingya pada saat ini.

Seharusnya pemerintah Indonesia menyadari betapa besarnya pengaruh Indonesia terhadap negara Myanmar. Karena jika Indonesia melakukan penekanan yang lebih keras terhadap Myanmar. Pastinya Indonesia bisa menjadi negara penengah Konflik yang terjadi antara dua kelompok yang bersebrangan meskipun berada dalam satu negara tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun