Pada saat membuka Kejuaraan Nasional Tingkat Remaja Perguruan Pencak Silat Nasional (persinas). Ketika Jokowi meminta seorang peserta untuk kedepan menjawab kuis. Seorang Peserta maju kedepan. Namun peserta yang bernama Gladis ini tampak sangat ragu dan gugup ketika menuju panggung. Jokowi pun berkata dengan nada bercanda. "Tidak usah takut, presidennya tidak diktator kok" canda Jokowi. Setelah itu Jokowi kembali menyinggung, bahwa selama ini di media sosial banyak pihak yang menudingnya otoriter atau bahkan dianggap sebagai seorang yang diktator. "Masa wajah seperti ini dibilang diktator". Kata Jokowi yang disambut tawa para peserta.
Isu tentang Jokowi pemimpin diktator memang sudah lama mencuat, terutama yang paling hangat akhir-akhir ini adalah Perppu tentang Ormas yang dinilai telah mengebiri hak-hak berdemokrasi. Selain kasus tersebut, kasus penahanan terhadap para penghina kepala negara juga semakin marak terjadi semenjak era Jokowi. Yang paling hangat saat ini adalah kasus yang menerpa Sri Rahayu Ningsih.
Berdasarkan keterangan Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Brigadir Jenderal Fadil Imran. Sri Rahayu diduga mendistribusikan puluhan foto-foto dan tulisan dengan konten penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo, beberapa partai, organisasi kemasyarakatan dan kelompok, dan konten hoax lainnya".
Memang tindakan penghinaan terhadap Presiden Jokowi semakin marak pada saat ini di media sosial. Bahkan kadang melebihi batas atau dengan kata lain sudah keterlaluan. Akan tetapi bagaimana jika ada terduga yang memang benar-benar buta politik, sehingga tidak mengetahui seutuhnya apa yang ia sebar di media sosial. Atau mungkin juga karena ikut-ikutan karena banyak yang menyebarkan info atau gambar-gambar hoax.
Sedikit kilas balik kepada rezim sebelumnya, yaitu rezim Susilo Bambang Yudhoyono atau yang biasa dengan akrab kita sebut SBY. Pada era SBY kritik dan serangan terhadap figur SBY juga tak kalah dengan serangan terhadap presiden Jokowi pada saat ini. Berbagai hinaaan dan gambar editan yang merendahkan seorang SBY banyak tersebar di media sosial. Bahkan yang terparah ketika demo yang terjadi didepan Istana, yang mana pada saat itu massa demo membawa kerbau yang bertuliskan SBY. SBY dikala itu menanggapi dengan santai dan tidak memperpanjang soal hinaan itu.
SBY juga sama dengan Jokowi, bahkan lebih parah. Kenapa saya sebut lebih parah? karena Pada era SBY bukan hanya masyarakat atau publik yang ramai-ramai mengkritisi segala kebijakan SBY. Akan tetapi hampir semua media massa baik cetak maupun elektronik menjadi media yang sangat kritis atau tidak ramah dengan segala kebijakan SBY. Sehingga pada saat itu saya sempat berpendapat, apapun kebijakan SBY pasti selalu buruk dan negatif di mata media massa. Jika kebijakannya postif pun, media massa akan terus mencari kelemahan dari kebijakan itu, sekecil apapun itu.
Sedangkan era Jokowi, hampir mayoritas media massa menjadi penonton dan pendengar yang baik bagi pemerintahan jokowi. Kenapa saya sebut seperti itu? karena media massa di era Jokowi seakan setuju dan menilai positif segala kebijakan jokowi. Bahkan tak jarang ada media massa partisipan yang terkadang membela apapun kebijakan dari rezim Jokowi. Jokowi lebih disukai media massa ketimbang SBY.
Memang di negara yang sedang giat-giatnya menerapkan sistem demokrasi secara menyeluruh semenjak era Reformasi, kata diktator seperti aneh terdengar. Karena sebagai negara dengan sistem demokrasi pancasila seperti indonesia, pemerintahan diktator tidak sesuai konstitusi Indonesia. Akan tetapi kebijakan presiden Jokowi yang selama ini keras terhadap para kelompok masyarakat yang bersebrangan paham terhadap dirinya, adalah sebuah sebab yang membuat masyarakat memberikan stigma diktator terhadap Jokowi.
Sebagai kepala negara yang tentunya harus bersikap sebagai seorang negarawanan. Presiden Jokowi harus bisa mengayomi masyarakatnya, terutama yang bersebrangan atau yang selalu menyerang dirinya secara Pribadi di media sosial. Karena sebagai negara yang mayoritas warganya masih buta politik. Pendekatan pemerintah terhadap warganya yang bersebrangan atau berbeda pandangan terhadap dirinya. Harus didasarkan pendekatan yang lebih lunak, bukan dengan cara represif.
Memang terkadang penghinaan terhadap presiden Jokowi sudah berlebihan di media sosial pada akhir-akhir ini. Akan tetapi ada baiknya Presiden Jokowi untuk bisa lebih berbesar hati dan bersikap untuk tidak anti kritik. Karena sebagai pemimpin pastinya Presiden Jokowi harusnya lebih bersikap bijak, bahwa tidak selamanya pujian yang akan datang. Akan tetapi kritik adalah salah satu bagian dari demokrasi itu sendiri. Kiranya kalau ada yang berlebihan seharusnya cara mengayomi adalah cara terbaik untuk bisa meredam gejolak politik.
Polarisasi masyarakat Indonesia sudah sangat memperihatinkan semenjak Pilpres 2014. Hingga Pilkada DKI Jakarta 2017, yang baru saja berakhir. Tentu polarisasi tersebut akan semakin meluas pada Pilkada serentak 2018, hingga Pilpres 2019 mendatang. Sehingga jika presiden Jokowi malah akan menyudutkan pihak-pihak atau bahkan ormas-ormas yang selama ini bersebrangan dengan dirinya. Malah akan semakin memperparah jurang perbedaan yang sudah mengangga begitu lebarnya semenjak Pilpres 2014.