Penulis: Dendi Pribadi P, Mahasiswa Administrasi Publik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
JAKARTA, 13 Desember 2024 -- Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, kembali menjadi sorotan publik setelah pidato yang disampaikannya dalam Konferensi Besar (Konbes) Fatayat NU pada Jumat (13/12/24). Dalam pidatonya, Gibran menggunakan ungkapan "para-para" untuk menyebut para tokoh agama, kyai, dan ibu nyai yang hadir pada acara tersebut. Ungkapan yang dinilai tidak sesuai dengan formalitas pidato kenegaraan ini mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan.
Pidato Gibran di Konbes Fatayat NU
Dalam pidatonya, Gibran dengan antusias menyapa hadirin yang terdiri dari para tokoh agama, kyai, dan ibu nyai, serta para peserta lainnya, dengan mengatakan, "Para-para tokoh agama, para-para kyai, para-para ibu nyai yang hadir pada pagi hari ini." Ungkapan ini terkesan informal dan kurang tepat untuk sebuah acara yang melibatkan banyak tokoh penting, apalagi dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden Indonesia.
Meskipun niat Gibran mungkin untuk lebih akrab dengan audiens, penggunaan kata "para-para" yang lebih sering digunakan dalam percakapan sehari-hari menuai kritik tajam. Dalam pidato resmi yang dihadiri oleh tokoh-tokoh agama besar seperti kyai dan ibu nyai, pemilihan kata ini dinilai tidak menghormati nilai formalitas yang seharusnya dijaga.
Reaksi terhadap Pilihan Kata Gibran
Penggunaan istilah "para-para" dinilai merendahkan keseriusan acara, terutama mengingat kedudukan Gibran sebagai Wakil Presiden. Banyak pengamat politik dan tokoh masyarakat yang mengungkapkan kekesalan mereka atas pilihan kata yang dianggap tidak pantas tersebut.
"Sebagai Wakil Presiden, Gibran seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih kata. Menggunakan istilah 'para-para' di hadapan tokoh agama dan masyarakat luas bisa menciptakan kesan yang kurang profesional," ujar Dr. Hadi Prasetyo, pengamat politik dari Universitas Indonesia. "Pidato tersebut seharusnya memberikan teladan dalam hal formalitas dan kewibawaan, apalagi jika Gibran ingin dilihat sebagai sosok pemimpin yang matang."
Komentar serupa juga datang dari kalangan netizen yang mempertanyakan keahlian Gibran dalam berpidato.Â
"Seharusnya sebagai Wakil Presiden, Gibran bisa lebih memahami konteks dan mematuhi protokol acara. Pilihan kata seperti itu tidak bisa diterima dalam acara yang melibatkan tokoh-tokoh penting," tulis salah satu netizen di platform media sosial.
Tanggapan dari Bung Rocky Gerung
Dalam video yang diunggah pada 16 Desember 2024, Rocky Gerung mengkritik penggunaan kata "para-para" oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam pidatonya di Konferensi Besar Fatayat NU. Rocky menilai bahwa penggunaan istilah tersebut menunjukkan ketidaksiapan Gibran untuk memegang posisi kepemimpinan tingkat tinggi, sangat berbeda jauh dengan wakil-wakil presiden kita sebelumnya, yang memiliki gudang prestasi yang sangat banyak untuk Indonesia.Â
Rocky juga menyindir Gibran dengan mengatakan, "Dulu sekolahnya di mana?" Sindiran ini mengindikasikan bahwa Gibran seharusnya lebih memahami etika berpidato dalam acara resmi, dengan standar intelektual Gibran yang harus dipertanyakan. Â
Selain itu, Rocky menyoroti bahwa gerak-gerik Gibran yang sering tampil di depan kamera menunjukkan ketagihan akan perhatian publik. Ia menyatakan bahwa Gibran seharusnya lebih fokus pada tugasnya sebagai Wakil Presiden daripada mencari sorotan media, karena jarang terlihat kamera, dan sekalinya disorot malah melakukan hal yang konyol.Â
Secara keseluruhan, Rocky Gerung mengkritik Gibran karena dianggap kurang memahami tata krama berpidato dalam acara resmi dan terlalu sering mencari perhatian publik. Ia berharap Gibran dapat lebih fokus pada tugasnya dan meningkatkan kualitas kepemimpinannya.
Kritik Terhadap Gibran dan Pengamatan Pendidikan
Beberapa pihak juga mengkritik latar belakang pendidikan Gibran, yang meskipun memiliki pengalaman internasional, dianggap kurang memperhatikan etika berpidato dalam acara resmi.Â
"Dulu sekolahnya di mana? Harusnya Gibran belajar lebih banyak soal tata krama pidato dan komunikasi publik," ungkap seorang pengamat pendidikan. "Tidak seharusnya seorang pemimpin menggunakan bahasa yang terlalu santai dalam pidato penting."
Sebagai Wakil Presiden, Gibran diharapkan dapat membawa citra profesionalisme yang sesuai dengan statusnya. Oleh karena itu, setiap ucapannya harus mencerminkan kebijakan dan etika yang diharapkan dari seorang pemimpin negara.
Harapan untuk Pembinaan Gibran
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Gibran perlu lebih memperhatikan cara berkomunikasi di depan publik.Â
"Gibran memang memiliki potensi besar, tetapi dia harus lebih berhati-hati dalam berpidato dan menunjukkan sikap yang lebih formal sebagai Wakil Presiden," ujar Rina Fitria, seorang aktivis sosial. "Sebagai pemimpin muda, setiap kata yang keluar dari mulutnya seharusnya memberi contoh yang baik bagi masyarakat."
Pembelajaran Bagi Pemimpin Muda
Kejadian ini menjadi pembelajaran bagi Gibran dan para pemimpin muda lainnya bahwa pidato formal harus disampaikan dengan bahasa yang sesuai dengan konteks dan audiens. Sebagai Wakil Presiden, Gibran memiliki tanggung jawab untuk menjaga kewibawaan dan keseriusan dalam setiap acara, terutama di hadapan tokoh-tokoh penting. Pelatihan komunikasi publik dan pemahaman terhadap etika berpidato akan sangat membantu Gibran dalam menjalankan tugasnya di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H