Mohon tunggu...
Denden Deni Hendri
Denden Deni Hendri Mohon Tunggu... Analis Pemilu dan Kebijakan Publik -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Ulang UU Pilkada dalam Satu Naskah

13 Maret 2017   07:38 Diperbarui: 13 Maret 2017   08:45 3754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Tahun 2014 DPR melakukan kajian, pembacaan ulang dan evaluasi kebijakan secara komprehensif atas perkembangan demokrasi lokal, desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan, otonomi daerah dan praktik pemilukada langsung. Evaluasi komprehensif tersebut meliputi evaluasi aspek administratif, aspek yuridis, aspek konstitusional dan aspek politik pelaksanaan pemilukada langsung yang telah bertahan kurang lebih selama satu dekade (2005-2014), dorongan untuk mengevaluasi praktik pemilukada langsung sebagai titik pusat representasi dari perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah datang mulanya dari ruang publik, yang pernah ditesiskan Habermas sebagai entitas baru dalam relasi komunikatif antara rakyat dan negara yang kekuatannya layak diperhitungkan dalam proses politik dan pelembagaan demokrasi dewasa ini.

Preferensi ruang publik memandang praktik pemilukada langsung sangat problematis dan kompleks, terdapat fakta-fakta empirik yang tidak bisa dinegasikan dalam memotret perjalanan pemilukada langsung seperti tingginya ongkos politik pelaksanaan pilkada langsung yang harus dikeluarkan oleh negara dan pasangan calon kepala daerah, terdapat penyalahgunaan APBD oleh kepala daerah petahana (incumbent) dalam proses pemenangan, meningkatnya korupsi kepala daerah sebagai dampak ikutan (efek domino) dari  tingginya ongkos politik pencalonan, meningkatnya eskalasi konflik di daerah, munculnya politik dinasti, oligarki elit, politisasi birokrasi serta terjadinya trendpenurunan partisipasi pemilih karena kelelahan batin publik dan kejenuhan politik dalam menghadapi pemilukada langsung.

Evaluasi mengarah kepada suatu kesimpulan untuk mencari jalan keluar baru yang dipandang oleh ruang publik sebagai jalan pintas (shortcuts) yaitu dengan cara mengembalikan pemilukada ke pangkuan DPRD, merekonstruksi ulang cara pandang terhadap otonomi daerah dan desentralisasi, bahwa harus diformulasi sebuah undang-undang secara tersendiri dan terpisah dari undang-undang pemda yaitu Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang kemudian kita kenal sebagai UU pilkada.     

Dinamika Kebijakan Pilkada

Terbitnya UU No. 22 Tahun 2014 mengundang resistensi dari ruang publik yang cukup massif dan eskalatif diwarnai dengan berbagai diskusi dan aksi penolakan dikembalikannya pilkada langsung ke pangkuan DPRD, Presiden SBY yang pada saat itu masih menjabat dan belum demisioner menangkap dengan cermat suasana batin publik dan nuansa kekecewaan para aktivis, praktisi, akademisi dan pengamat pro demokrasi  yang menganggap akan terjadi sebuah kemunduran dalam demokrasi saat hak politik, hak sipil dan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih secara langsung dianggap dirampas oleh sebagian besar elit politik di DPR. Atas dasar pemikiran tersebut untuk kepentingan umum dan anggapan telah terjadinya kegentingan yang memaksa, Presiden SBY kemudian mem-veto UU No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dengan memformulasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota dengan mengembalikan pilkada langsung ke pangkuan rakyat dan kemudian memperkenalkan terminologi uji publik calon kepala daerah oleh tim independen sebagai inovasi dan jaminan kebijakan publik untuk menjawab berbagai fakta-fakta empirik yang problematis dan kompleks di atas.

Singkatnya, dinamika kebijakan kemudian berlanjut dengan penolakan yang datang dari DPR atas diundangkannya uji publik calon kepala daerah oleh tim independen dalam rangkaian tahapan pilkada langsung yang dianggap akan mengambil alih kewenangan partai politik dalam rekrutmen politik dan agregasi kepentingan publik. Namun demikian dalam sistem presidensil meskipun suasana batin DPR saat itu tidak menyetujui norma–norma uji publik dalam PERPPU, DPR terlebih dahulu harus menetapkan PERPPU menjadi UU, maka lahirlah kemudian UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. UU No 1 Tahun 2015 atau PERPPU No 1 Tahun 2014 tersebut di-veto kembali oleh DPR dengan memformulasi Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan menghapuskan norma kewajiban mengikuti uji publik calon kepala daerah oleh tim independen serta memformulasi sebuah skenario penting sekali lagi untuk menjawab kompleksitas persoalan pilkada langsung yaituscenario planning penyelenggaraan pilkada serentak nasional november 2024.

 Seiring berjalannya proses politik dan pelembagaan demokrasi, dalam implementasinya, UU No. 8 Tahun 2015 masih menuai banyak kritik dari ruang publik dan secara langsung dari berbagai stakeholders pilkada, kritik terutama menyangkut kebijakan pencalonan yang menetapkan syarat dukungan minimal pasangan calon dari unsur perseorangan (independen) dinilai terlalu berat yaitu 6,5% (enam setengah persen) 7,5% (tujuh setengah persen) 8,5% (delapan setengah persen) atau 10% (sepuluh persen) tergantung tingkat kepadatan penduduk suatu daerah. Selain itu, kebijakan pencalonan juga membatasi munculnya calon-calon kepala daerah potensial seperti diwajibkannya anggota DPRD untuk mengundurkan diri dari jabatannya pada saat mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah, pun sama halnya dengan calon potensial dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) diwajibkan juga untuk mengundurkan diri dari karir birokrasinya pada saat pendaftaran menjadi calon kepala daerah. Kebijakan tersebut menjadi argumen beberapa bakal calon kepala daerah potensial untuk tidak melanjutkan proses pencalonan-nya pada pilkada serentak gelombang pertama desember 2015 bahkan pada beberapa daerah mendorong munculnya fenomena calon tunggal yang sama sekali tidak terantisipasi sebelumnya oleh para formulator kebijakan di DPR.

Seperti halnya terjadi pada UU pemda (UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008) sebelum munculnya UU pilkada No. 22 Tahun 2014 dan perubahan-perubahan-nya, terdapat uji materi (judicial review)kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015,

Pertama judicial reviewyang dimohonkan oleh Adnan Purichta Ichsan Anggota DPRD Sulawesi Selatan periode 2014-2019 atas ketentuan pasal 7 (tujuh) huruf r dan penjelasannya tentang konflik kepentingan dengan petahana serta pasal 7 huruf s tentang kewajiban memberitahukan pencalonan kepala daerah bagi anggota DPR/DPD/DPRD kepada pimpinan DPR/DPD/DPRD. Atas judicial review tersebut MK mengabulkan permohonan untuk sebagian melalui putusan nomor 33/PUU-XIII/2015 dengan menyatakan norma pasal 7 huruf r beserta penjelasannya dan pasal 7 huruf s tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kedua,judicial reviewdiajukan olehEffendi Ghazali aktivis, pakar komunikasi politik  dan akademisi yang konsen terhadap pembelaan hak sipil, hak politik dan hak konstitusional warga negara terhadap pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), pasal 51 ayat (2), pasal 52 ayat (2), pasal 54 ayat (4) ayat (5) dan ayat (6) yang berisi norma yang mengatur apabila terjadi kondisi calon tunggal pada penyelenggaraan pilkada serentak akan dilakukan penundaan ke jadwal pilkada serentak berikutnya. Pada faktanya, pilkada serentak gelombang pertama Desember 2015 terdapat beberapa daerah yang mengalami kondisi calon tunggal yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Samarinda, Kota Mataram dan Kabupaten Timor Tengah Utara yang harus ditunda penyelenggaraan pemilukada serentak ke gelombang kedua pada Februari 2017. Tentunya pemohon menganggap bahwa norma ini menimbulkan diskriminasi dan kerugian konstitusional terhadap warga negara yaitu hilangnya hak untuk memilih dan dipilih pada pilkada serentak Desember 2015 serta potensi menghambat proses pembangunan di daerah tersebut pada saat pemerintahan dipimpin oleh penjabat administratif yang tentunya memiliki keterbatasan dalam membuat kebijakan publik yang bersifat strategis selama kurang lebih 14 (empat belas) bulan dari Desember 2015 sampai dengan Februari 2017.

Uji materi atas norma calon tunggal meminjam istilah Frank Fischer dan John Forester (1993) kemudian menimbulkan proses argumentative turn di ruang publik diantara para politisi, praktisi, akademisi dan para pengamat politik, Effendi Ghazali tentu saja mendapat banyak dukungan dari publik atas pengujian tersebut, suasana batin publik terutama pada daerah-daerah yang mengalami kondisi calon tunggal diliputi kecemasan dan rasa diskriminasi, bagaimana tidak proses politik sudah bergulir bahkan sudah memasuki tahapan pelaksanaan penyelenggaraan pilkada ditandai dengan masuknya tahapan pelaksanaan pendaftaran pasangan calon kepala daerah. MK selanjutnya mengabulkan permohonan Effendi Ghazali dengan memformulasi putusan mahkamah nomor 100/PUU-XIII/2015, menyatakan norma-norma tentang calon tunggal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menetapkan satu pasangan calon kepala daerah dalam hal terdapat hanya satu pasangan calon (aklamasi), artinya mahkamah dengan tegas tidak menyetujui penetapan langsung calon tunggal sebagai pasangan kepala daerah tanpa menempuh terlebih dahulu suatu pemilihan umum (general election), mahkamah  memberikan ruang bagi calon tunggal untuk tetap dipilih melalui pilkada seperti halnya pemungutan suara untuk sebuah referendum.

Selain  judicial review di atas kritik kepada UU No. 8 Tahun 2015 juga mengemuka di ruang publik pada berbagai perbincangan, kajian dan diskusi para pengamat kebijakan, praktisi, akademisi dan politisi berkenaan dengan diwajibkannya bakal calon yang memiliki latar belakang  PNS/TNI/POLRI untuk mengundurkan diri pada saat pendaftaran calon, pada saat yang sama polemik tersebut terjadi terdapat putusan MK yang mengatur norma tentang pengunduran diri bakal calon dari PNS/TNI/POLRI pada saat ditetapkan menjadi calon kepala daerah yaitu melalui judicial review UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui putusan mahkamah nomor 41/PUU-XII/2014 pada tanggal 6 Juli 2015, serta putusan mahkamah nomor 56/PUU-XII/2014 tanggal 7 Juli 2015. Sehingga dalam rangka menindaklanjuti berbagai putusan judicial review terhadap UU No. 8 Tahun 2015 dan terhadap UU No. 5 Tahun 2014, pada tanggal 1 Juli 2016 DPR kemudian memformulasi UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang Undang, didalamnya menghapus norma tentang larangan bakal calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan petahana, menegaskan dibolehkannya calon tunggal melalui semacam referendum dalam pilkada serentak serta diwajibkannya PNS/TNI/POLRI untuk mengundurkan diri pada saat ditetapkan menjadi calon kepala daerah.

Selain dari pada tindak lanjut terhadap berbagai putusan MK, UU No. 10 Tahun 2016 juga memiliki beberapa perubahan penting dan strategis sebagai upaya serius para formulator kebijakan dalam memperbaiki kualitas pilkada langsung, mengatasi setiap persoalan teknis administratif, persoalan politik hukum dan persoalan anggaran yang muncul di lapangan. Salah satu persoalan yang paling menyita perhatian publik pada saat itu adalah persoalan dualisme kepengurusan partai Golkar dan PPP, para pihak bersengketa tentang kepengurusan manakah yang berhak mendaftar menjadi pasangan calon pada pilkada serentak tahun 2015, persoalan ini bukanlah persoalan biasa internal partai politik melainkan telah menjadi persoalan bangsa dan negara karena mempengaruhi konfigurasi politik pencalonan kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia, dan pada saat itu berpotensi menggagalkan pilkada serentak tahun 2015 bagaimanapun partai politik dalam negara demokrasi modern seharusnya menjadi fundamental utama dalam proses politik dan pelembagaan demokrasi serta proses agregasi dan institusionalisasi kepentingan publik, meskipun substansi persoalan dualisme kepengurusan partai sama sekali tidak berkaitan langsung dengan kehendak dan kepentingan publik.

Meskipun rekonsiliasi dan konsolidasi Golkar dan PPP telah terwujud melalui meminjam istilah Howlett dan Ramesh (1995) policy sub-systemsesaat sebelum masa pendaftaran calon dari unsur partai politik dan gabungan partai politik dibuka pada pilkada serentak Desember 2015, semangat UU No. 10 Tahun 2016 tetap ingin memfinalkan persoalan dualisme partai politik dengan membuat norma secara khusus yang membahas tentang dualisme kepengurusan partai yaitu pasal 40A, bahwa partai politik yang bisa mendaftarkan diri dalam pencalonan adalah kepengurusan partai di tingkat pusat yang sudah memperoleh putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain, telah didaftarkan dan ditetapkan dengan putusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia

Intisari UU Pilkada Terbaru (UU No. 10/2016)

Sehingga dalam kerangka dinamika kebijakan seperti inilah, pemahaman terhadap UU pilkada tidak bisa disandarkan pada satu UU terbaru saja melainkan harus membaca dalam suatu benang merah, satu story line,satu naskah dan satu narasi dari perjalanan panjang dinamika tersebut. Berikut di bawah ini adalah intisari dari perubahan besar yang terkandung dalam UU No. 10 Tahun 2016;

  1. Menindaklanjuti putusan MK mengenai penghapusan larangan konflik kepentingan dengan petahana (pasal 7 huruf r dan penjelasan-nya, pasal 7 huruf s);
  2. Menindaklanjuti putusan MK mengenai penegasan kewajiban mengundurkan diri bagi calon potensial dari PNS/TNI/POLRI sejak ditetapkan menjadi calon kepala daerah (pasal 7 huruf t);
  3. Pengukuhan keputusan Forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR, Pemerintah dan KPU bersifat mengikat seluruh pihak (pasal 9, pasal 22B, pasal 152);
  4. Memperkuat fungsi dan peran Bawaslu dalam penyelesaian sengketa pemilihan (pasal 10 butir b1, pasal 22B, pasal 73, pasal 135A, pasal 144, pasal 146, pasal 152, pasal 154, pasal 193);
  5. Pemberian kewenangan kepada Bawaslu untuk memberikan sanksi diskualifikasi serta persetujuan pembatalan pasangan calon kepala daerah (pasal 22B, pasal 73);
  6. Menuntaskan persoalan dualisme kepengurusan partai politik pada saat pendaftaran pencalonan kepala daerah (pasal 40A);
  7. Memperketat proses pencalonan dari unsur perseorangan melalui verifikasi administrasi berulang dan verifuikasi faktual melalui metode sensus terhadap pendukung calon persorangan (pasal 41, pasal 48, pasal 185A, pasal 185B, penjelasan pasal 20 huruf c);
  8. Menindaklanjuti putusan MK mengenai diperbolehkannya calon tunggal dalam pilkada serentak (pasal 54C),
  9. Menegaskan alat peraga kampanye dan bahan kampanye masih didanai oleh negara dan boleh didanai oleh pasangan calon kepala daerah (pasal 65);
  10. Penegasan nomenklatur petahana dalam terminologi pilkada (pasal 71);
  11. Larangan bagi pejabat negara, pejabat daerah serta PNS/TNI/POLRI dan Kepala Desa atau Lurah untuk membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon kepala daerah (pasal 71);
  12. Pengaturan sanksi atas politik uang (pasal 73);
  13. Batas maksimum pemberian sumbangan dana kampanye dari perorangan maupun badan hukum swasta (pasal 74);
  14. Memberikan tanggungjawab kepada Pemerintah Daerah dalam meningkatkan partisipasi pemilih dan pengembangan demokrasi lokal (pasal 133A);
  15. Penyederhanaan proses sengketa pilkada serentak (pasal 144);
  16. Penguatan fungsi Gabungan Penegakan Hukum Terpadu (GAKUMDU) dalam menangani tindak pidana pemilu/pemilihan (pasal 146, pasal 152);
  17. Pembatasan prosentase perbedaan selisih suara yang diperbolehkan digugat peserta dalam perkara PHP ke MK yaitu sebesar 0,5%-2% selisih suara (pasal 156, pasal 157, pasal 158);
  18. Pengaturan tentang pemberhentian, pengangkatan, pengesahan (pelantikan) kepala daerah dan wakil kepala daerah pada pilkada serentak termasuk pengaturan calon kepala daerah yang meninggal dunia sebelum pemilihan atau diberhentikan sebelum dan sesudah terpilih (pasal 162, pasal 163, pasal 164, pasal 164A, pasal 164B, pasal 165);
  19. Pengaturan sumber pendanaan bersama pilkada dari APBN dan APBD (pasal 166);
  20. Perluasan ruang lingkup pidana pemilu pada penyelengaraan pilkada serentak (pasal 177A, pasal 177B, pasal 178A, pasal 178B, pasal 178C, pasal 178D, pasal 178E, pasal 178F, pasal 178G, pasal 178H, pasal 180, pasal 182A, pasal 182B, pasal 185A, pasal 185B, pasal 186A, pasal 187A, pasal 187B, pasal 187C, pasal 187D, pasal 190A, pasal 193, pasal 193A, pasal 193B, pasal 198A);
  21. Scenario planning jadwal pilkada serentak nasional tahun 2024 (pasal 201).

Demikianlah narasi singkat pembacaan ulang terhadap perjalanan UU pilkada, meskipun proses politik diproyeksikan belum berakhir, masih terdapat potensi judicial review khususnya pada norma-norma yang cukup kontroversial dan dinilai merugikan kepentingan peserta pilkada misalkan norma tentang ambang batas selisih suara 0,5% sampai dengan 2% (pasal 158) yang dapat disengketakan di MK, atau norma tentang pembentukan peradilan khusus pemilu dalam satu atap pada pemilu serentak nasional (pasal 156 & pasal 157) yang menurut UU tersebut diselenggarakan tahun 2024, apakah pembentukan peradilan khusus tersebut harus terlebih dahulu merevisi kewenangan MK dalam memutus sengketa hasil pemilu artinya harus amandemen UUD 1945 terlebih dahulu? cukupkah dasar pembentukan peradilan khusus pemilu hanya termaktub dalam suatu UU pilkada atau UU pemilu atau memerlukan UU khusus?. Terlepas dari semua itu dalam perspektif produk kebijakan publik, pilkada serentak 2017 kemarin merupakan pilkada yang lebih berkualitas dibanding dengan penyelenggaraan pilkada-pilkada langsung sebelumnya karena UU nya telah lahir dari pergulatan pemikiran dan upaya panjang meningkatkan kualitas pilkada dan menjawab persoalan di lapangan dari aspek teknis, aspek hukum, aspek politik dan aspek anggaran, pilkada yang berkualitas tentunya selalu lahir dari UU yang berkualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun