Mohon tunggu...
Agus Riyanto
Agus Riyanto Mohon Tunggu... -

Baru-baru saja, beIum Iama ini. Tersangka korupsi, tapi buktinya sedang dicari. "aku yang begini ini, ternyata unik n istimewa: Indonesia tiada duanya..!"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangkit dan seterusnya, kawan..!

12 Mei 2011   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:47 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maaf kawan, catatan ini kembali aku terbitkan. Bukan kebetulan, tetapi yang namanya Mei-Juni seIaIu mengingatkan. Hingga suatu maIam aku buat catatan ini, karena paginya sudah ditunggu teman-teman muda untuk digandakan sebagai  salah satu bahan diskusi peringatan.

.....................................................

Bersatu, kata kerja yang bernasib baik. Berjasa begitu dahsyat, membidani kelahiran Boedi Oetomo (20/5 - 1908) - betapa tidak, tiga abad lamanya ‘rasa kebangsaan’ dikerangkeng Belanda. Ia embrio nasionalisme paling mula, yakni sikap sosial menerima pluralisme. Menggugah rasa senasib sepenanggungan, sehidup-semati dalam satu keluarga besar: Republik Indonesia.

Satu adalah tiada aku dan kau, kecuali kau yang aku. Aku yang bukan bagian lain dari kau, kesanggupan bersenyawa ke dalam ‘kita’. Menipiskan jarak primordial, titik temu garis-garis Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon dan Jong-Jong lainnya. Membonsai potensi egosentris ‘aku-kami’ dengan ‘kau-mereka’; ‘orangku’ dengan ‘bukan orangku’; ‘kelompok ini’ dengan ‘kelompok itu’.

Pada masa penjajahan, bagi Belanda, Tanah Air ini dijelmakan ladang kekayaan dan penduduknya adalah manusia taklukkan. Sementara bagi kita, lahir pemahaman: nasib buruk dijajah, korban devide et impera – politik adu domba; pembodohan yang terang-terangan; pemiskinan yang dibudidayakan; dan keterbelakangan yang dipertahankan.

Berjuang melawan kolonialisme menjadi hasrat kolektif. Satu tujuan; bebas dari penindasan. Maka pilihannya; merdeka atau mati!

Bersatu, menghantar negeri kepulauan dengan ragam agama dan budaya ini, 17 Agustus 1945 melintasi ‘jembatan emas’ kemerdekaan.

Prosesi sejarah panjang ini, betapa kelahiran Boedi Oetomo adalah tonggak kebangkitan nasional.

***

Bung Karno menyatakan, 1928, “Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’, dan membuat kita menjadi ‘hidup di dalam ruh.” Maka, nasionalisme tidak sekedar sikap menerima kemajemukan semata. Tetapi, ia harus dipahami juga sebagai membangun Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.

Dengan Pembangunan, Indonesia terus berdandan, sambil sibuk belajar bernegara. Misal import demokrasi - aksesoris wajib negara republik, dengan bea masuk: disesuaikan. Maksud dengan ‘disesuaikan’ itu, agar ‘barang asing’ ini tidak liberal, tidak diserahkan total kepada parlemen, dan yang tidak dikendalikan oleh uang. Menjadi demokrasi yang Indonesia, yaitu demokrasi yang dilandasi ideologi bangsa, yakni demokrasi Pancasila.

Sehingga Bung Karno menegaskan, 1945, “Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya bukan semata-mata copie atas tiruan dari Nasionalisme Barat, tetapi muncul dari rasa kecintaan terhadap manusia dan kemanusiaan.”

Sistem demokrasi ini, berarti negara memfasilitasi terwujudnya demokratisasi di bidang politik dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun, sinau berdemokrasi pun ternyata harus tunduk pada idiom universal: belajar itu mahal.

Sejak merdeka sampai era reformasi sekarang ini, Indonesia dari era ke era menjalani prosesi sinau dengan biaya tinggi. Di era Orde Lama, pernah dituduh murid murtad-ketika demokrasi dirias jadi demokrasi terpimpin. Di jaman Orba, kita nyaris hilang akal, saat disindir mahir menghias ‘demokrasi seolah-olah’ hingga tampak sebenarnya.

Satu hal lagi, pengorbanan paling dramatis. Adalah saat praktek penyelenggaraan referendum untuk Timor-Timur, awal era Reformasi. Untuk sekedar mendapat kesan demokratis dari tetangga, Timor-Timur dijadikan tumbalnya.

Tentang semua ini saya tiba-tiba teringat Kang Was – sahabat saya, yang geleng kepala sambil mengepal tinju, “Ganyang..!” di depan televisi. Ia serius menyimak berita Sipadan dan Ligitan, dua pulau di perbatasan sana ‘diminati’ tetangga. Teritorial terancam lagi, dihapus dari peta. “Nasionalisme berarti antineokolim, menolak intervensi asing. Kedaulatan adalah harga mati” teriaknya berapi-api.

Demokratisasi ekonomi, negara harus berwatak kerakyatan: memposisikan diri di pihak yang lemah tanpa memusuhi kaum pengusaha atau kaum yang kuat. Negara bukan semacam yayasan sosial. Tukang sawer. Bukan pemberi bantuan-bantuan sosial, gemar memberi ikan ketimbang kail.

Berarti juga, pembangunan tidak diserahkan kepada kaum kapitalis asing. Tidak takluk di hadapan IMF. Justru negara harus intervensi, mengurangi dampak negatif atas ganasnya hukum ekonomi (neo) liberal. Inilah ruh jati-diri bangsa kita. Menbangun dengan gotong royong.

Teringat dengan gagasan Soekarno, “Pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong.”

Saat ribuan saudara kita di perbatasan menjadi tentara negeri tetangga. Menjadi TKI bernasib sial, jadi sansak majikan di sana. Saya yakin, bukan mereka tak tahu risiko itu. Tapi, adakah alternatif lain ketika hadir kebutuhan perut?

Kita lebih bangga hidup dengan cara-cara tetangga. Berbicara, berbaju dan melahap siaran televisi tetangga, memilih ber-nasionalisme tetangga dan memutuskan menjadi jiran negeri kita. Kita seolah telah membuang ke-Indonesia-an dari negeri ini. Untuk hal sangat sederhana, mengejar status modern!

***

Lengkap sudah kegalauan realitas sejarah. Masih cukup mentalkah untuk terus menunda? Memulai sadar, bahwa nikmat kemerdekaan belum serius disyukuri. Sementara secara kolektif, muter-muter asyik masyuk berdebat tentang hak. Banyak bicara mengenai siapa, dari mana, golongan apa, caranya bagaimana, dengan apa dan seberapa?

Wacana jilid kedua Gus Dur mengenai kebangkitan nasional, di awal tahun 2001an dulu, adalah otokritik bagi semua. Sangat tidak lucu, apabila ada yang berfikir masih perlu jilid 3 - dan jilid seterusnya. Tetapi harus ditanggapi sebagai bentuk ajakan. Bahwa kebangkitan nasional jangan pernah berhenti, tetapi bangkit dan seterusnya!***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun