Kita tahu bahwa setiap orang di dunia pasti mengalami tahap perkembangan mulai dari bayi, anak-anak hingga dewasa. Dalam setiap tahap perkembangan tentu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Salah satu masa peralihan yang dianggap penting dan riskan yaitu dari remaja menuju dewasa.
Respon kita terhadap masa peralihan menuju dewasa tidaklah sama satu dengan yang lain. Faktor eksternal yaitu lingkungan, dan faktor internal yaitu psikologis kita sendiri, mempengaruhi cara mengeksplorasi diri dan sekitar. Kebingungan tidak dapat dihindari, bahkan tekanan dan rasa insecure kerapkali menimbulkan stress karena ketakutan berlebih terhadap kelanjutan hidup di masa depan.
Jika tidak bisa menghadapi perubahan dalam perkembangan diri, maka kita akan berjalan dalam sebuah krisis. Emosi dan pandangan negatif terhadap diri sendiri pun akan terbentuk, sehingga  kita dapat terjebak dalam sebuah fase yang disebut quarter life crisis.
Apa yang Dimaksud Quarter Life Crisis?
Transisi remaja menuju dewasa di era milenial ini bisa dikatakan memang menyulitkan. Pada fase ini kita cenderung berorientasi pada masa depan. Dituntut harus memiliki tujuan hidup dan mandiri, persiapan yang matang baik secara emosi dan fisik untuk menghadapi tantangan dan perubahan yang kompleks. Mau tidak mau akan ada  tekanan yang semakin besar dan harus dihadapi.
Disadari atau tidak, kita sering dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, "kapan lulus, kapan wisuda, setelah lulus akan kemana, lanjut sekolah di dalam atau luar negeri, kerja dimana, kapan menikah, kapan punya anak?" Keadaan ini bagi sebagian orang adalah pertanyaan yang wajar diutarakan. Namun, tanpa sengaja kondisi ini justru membuat seseorang yang ditanya merasa tertekan dan gelisah.
Pada tahap inilah fenomena yang disebut quarter life crisis terjadi. Setiap orang yang mengalami quarter life crisis akan mulai ragu dengan tujuan hidupnya. Bahkan sangat memungkinkan berpikir secara berlebihan mengenai apa yang terjadi di hidupnya. Ada kecemasan dan ketakutan akan masa depan yang mungkin dihadapi. Bahkan seringkali pilihan yang telah diambil menjadi sebuah keraguan besar.
Hal ini selaras dengan pernyataan Robinson, seorang ahli psikologi yang mengatakan bahwa quarter life crisis ditandai dengan munculnya perasaan tidak menentu, tidak bisa membuat keputusan berdasarkan realita hingga kebingungan menentukan pilihan masa depannya.
Jadi quarter life crisis sebenarnya apa? Quarter life crisis adalah fase dimana individu akan terus bertanya pada dirinya perihal pencapaian yang akan dan sudah diraih dalam hidupnya. Dalam hal ini mengarah pada pesimistik yang berlebihan. Dapat dikatakan bahwa quarter life crisis adalah respon terhadap suatu perubahan yang dihadapi dalam masa transisi seseorang menuju dewasa. Ditandai dengan muncul rasa panik, cemas berlebihan, frustasi terhadap kualitas dan tujuan hidupnya sendiri.
Aspek dan Pemicu Quarter Life of Crisis
Pada fase quarter life crisis, berbagai keraguan tentang karir, hubungan, pendidikan, keuangan, hingga keinginan atau hasrat untuk memiliki sesuatu akan timbul. Periode krisis ini biasanya dimulai jika ada keadaan yang memicu. Penyebab munculnya quarter life crisis bisa saja dari ketidaksesuaian harapan dengan realitas, tekanan dari lingkungan ataupun keluarga, kecewa terhadap sesuatu, frustasi hingga dipengaruhi oleh faktor norma sosial.
Beberapa aspek yang kerap menjadi kekhawatiran bagi individu yang tengah menghadapi masa transisi terkait masa depan antara lain,
PendidikanÂ
Saat lulus sekolah menengah atas, keraguan terhadap jurusan yang akan diambil di universitas kerap muncul pada diri kita. Pertanyaan-pertanyaan seperti akankah jurusan yang diambil memberikan peluang kerja, sudah sesuai minatkah jurusan yang diambil. Kedua pertanyaan ini dapat menciptakan ruang dilematis. Hal inilah yang sering menciptakan kegalauan dan keraguan saat akan duduk di bangku kuliah. Kebingungan juga kerap muncul kala seseorang lulus dari bangku kuliah. Pilihan antara langsung bekerja atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi muncul. Kebingungan untuk melanjutkan jenjang lebih tinggi di luar negeri atau memilih universitas dalam negeri juga menjadi masalah yang kerap mencuat.
Karir
Karir sering menjadi hal yang melatarbelakangi tingkat kecemasan seseorang. Kadang keinginan untuk menapaki karir yang diinginkan tidak sesuai kenyataan yang dijalani. Rasa tidak puas terhadap pekerjaan yang dijalani, terlebih jika tidak banyak memberikan keuntungan, dapat memicu stress. Jika kita telusuri, saat ini banyak yang menjadikan karir bukan hanya untuk mendapatkan uang, tetapi juga sebagai ajang aktualisasi diri. Terkadang kita terlalu membebani diri sendiri dengan mengharuskan bekerja di perusahaan yang diimpikan ataupun disukai banyak orang. Hal ini biasanya terkait gengsi dan status sosial di masyarakat. Padahal lapangan pekerjaan ada bermacam-macam, tetapi mendapat pekerjaan idaman banyak oranglah yang dikejar. Ada pergeseran definisi dan ekspektasi pekerjaan dulu dan sekarang. Seperti yang ditulis oleh Forbes, generasi terdahulu mengartikan bekerja untuk mendapatkan uang semata. Sekarang, orang bekerja bukan hanya untuk uang, tetapi lebih pada mendapatkan pengakuan dan status sosial. Itulah kenapa banyak yang mengandalkan segala cara agar diterima bekerja pada instansi atau perusahaan tertentu. Ketidakpuasan dalam dunia bekerja, rasa kecewa dan cemas karena tidak dapat memenuhi ekspektasi inilah yang kerap menggiring kita menuju quarter life crisis.
Pasangan Hidup Â
Krisis lain yang mungkin kita hadapi adalah soal pasangan hidup. Siapa yang tidak pernah dihujani pertanyaan, "kapan menikah?" Terlebih jika usia sudah berkisar 25-an. Pertanyaan ini tidak akan sulit dijawab jika sudah memiliki calon dan sudah memiliki rencana pasti untuk menikah. Namun, jika status masih single atau belum memiliki pasangan, atau sudah memiliki calon tapi belum cukup mapan untuk ke jenjang pernikahan, pasti kebingungan menjawab pertanyaan tersebut. Terlebih jika kita memilih menjadi single, terkadang bertentangan dengan keluarga dan norma dalam masyarakat. Hal ini pun memicu terjadinya konflik sosial. Disinilah stigma masyarakat berperan memunculkan stress dan depresi. Sebenarnya untuk zaman sekarang, usia 25 tahun masih terlalu dini untuk menikah. Usia di bawah 30 tahun masih menjadi usia gemilang dimana kita dapat melakukan banyak hal baik termasuk pencapaian karir.
Passion
Mengejar passion itu memang idealis sekali. Namun, hidup di dunia nyata tidaklah seindah dunia dongeng. Dunia nyata adalah dunia yang keras dan kejam, sehingga diperlukan fleksibilitas dalam menjalani hidup. Mewujudkan passion untuk menghasilkan pundi-pundi uang adalah hal yang menyenangkan hati. Sayangnya tidak semua orang dapat hidup berdampingan dengan passion mereka. Ada kalanya passion haruslah dikesampingkan untuk lebih berpikir realistis. Tapi ada juga orang-orang yang merasa tidak nyaman menjalani pekerjaan yang bukan passion mereka. Jika kita dapat mengais rejeki sesuai dengan passion, maka banyaklah bersyukur karena tidak semua orang mendapat kesempatan itu.
Siapa Mengalami dan Kapan?
Menurut The Guardian, quarter life crisis mempengaruhi 86 persen milenial, karena kegelisahan, kesepian, kekecewaan dan depresi. Pada dasarnya quarter life crisis dapat dialami oleh siapa saja, baik itu perempuan ataupun laki-laki.
Lalu kapan quarter life crisis terjadi? Menurut riset Linkedln pada tahun 2017, quarter life crisis dialami oleh 75 persen anak milenial di kisaran usia 25 hingga 33 tahun. Sedangkan menurut Dr Oliver Robinson, pada wawancara yang dikutip dari The Guardian, mengungkapkan bahwa quarter life crisis tidak terjadi seperempat jalan pada hidup seseorang, melainkan terjadi di seperempat jalan menuju masa dewasa.
Dari keseluruhan gambaran dapat disimpulkan bahwa banyak problematika yang kerap muncul di usia 20-an. Usia yang kerap disebut sebagai usia krusial. Hal tersebut dikarenakan kita telah memasuki usia dewasa saat itu. Usia yang sudah dapat melihat jelas peran dan tanggung jawab diri sebagai pengendali atas keputusan penting dalam hidup.
Beberapa hal memang kerap menjadi isu yang rumit terutama jika tidak tahu harus berbuat apa terhadap masa depan ataupun hidup kita sendiri. Banyak yang bermimpi agar dapat memiliki pekerjaan sesuai dengan passion, gaji besar, karena itulah idealisme yang diciptakan oleh diri kita. Tapi ingat, realitas terkadang mengharuskan diri mengesampingkan idealisme, bersikap situasional dan dinamis dalam menghadapi kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H