Walaupun bermunculan di media sosial, lebih dari 25 dari 36 responden tidak setuju dalam mewajarkan konten tersebut. Mereka tidak menyukainya sehingga konten laki-laki feminine dapat dikatakan tidak wajar untuk dinormalisasikan.
Dalam hal kesetaraan gender dalam bentuk stereotip, 22 dari 36 responden tidak setuju mengatakan laki-laki feminin itu merupakan bentuk kesetaraan gender.Â
Di sini dapat dikatakan bahwa masyarakat masih menganggap "tabu" jika melihat laki-laki feminin karena beranggapan laki-laki itu seharusnya maskulin dan gagah.Â
Lebih dari setengah jawaban responden menganggap bahwa konten-konten laki-laki feminin tidak menghibur dan bukan merupakan sebuah cara mencari jati diri seseorang. Lebih dari setengah jawaban responden pun menganggap gender itu tidak dapat diubah, laki-laki tetap dengan maskulinitasnya serta perempuan dengan feminitasnya.
Karena pandangan masyarakat terhadap laki-laki feminin seringkali melibatkan stereotip gender yang membatasi ekspresi dan identitas individu.Â
Laki-laki feminin mungkin mengalami tekanan sosial untuk sesuai dengan norma maskulinitas yang tradisional, sehingga mereka mungkin sulit untuk mengekspresikan sisi feminin mereka tanpa dihakimi.Â
Hal ini dapat mempengaruhi mereka dan membuat mereka merasa tidak diterima di masyarakat. Penting untuk mendorong pendidikan gender yang lebih inklusif, di mana setiap individu diterima tanpa dipaksakan sesuai stereotipe gender yang sempit.Â
Membiarkan laki-laki feminin dalam mengekspresikan diri dengan bebas dan aman selama tidak merusak moral adalah hal penting dalam membangun masyarakat adil dan memahami tentang keragaman gender.
Sumber:
Kosasih, E. (2019). Literasi Media Sosial dalam Pemasyarakatan Sikap Moderasi Beragama. Bimas Islam, 12 No. 1.
Nauly, M. (2003). Konflik gender & seksisme: studi banding laki-laki batak, minangkabau dan jawa. Yogyakarta: Arti.