Mohon tunggu...
Abdillah
Abdillah Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Nomophobia (Takut jika Jauh dari Ponsel)

11 Juli 2024   14:36 Diperbarui: 11 Juli 2024   14:42 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Pendahuluan

Nomophobia, atau "no mobile phone phobia," adalah ketakutan irasional terhadap ketidakmampuan mengakses perangkat seluler atau layanan seluler. Fenomena ini telah menjadi perhatian signifikan di era digital saat ini, mengingat semakin banyaknya ketergantungan manusia pada teknologi komunikasi. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji penyebab, dampak, dan strategi mengatasi nomophobia berdasarkan penelitian ilmiah terkini.

Definisi dan Latar Belakang

Nomophobia pertama kali diidentifikasi pada awal abad ke-21 sebagai hasil dari peningkatan penggunaan telepon seluler. Penelitian oleh King et al. (2010) mengungkap bahwa ketidakmampuan untuk menggunakan telepon seluler dapat memicu kecemasan dan ketidaknyamanan pada individu. Sejak itu, nomophobia telah menjadi subjek berbagai studi untuk memahami dampak psikologis dan sosial dari ketergantungan pada teknologi.

Penyebab Nomophobia

  1. Ketergantungan Sosial: Telepon seluler memainkan peran penting dalam komunikasi sosial. Ketakutan akan kehilangan kontak dengan teman, keluarga, dan kolega dapat menyebabkan kecemasan yang berlebihan.

  2. Keterikatan Informasi: Akses terus-menerus ke informasi dan hiburan melalui ponsel pintar membuat banyak orang merasa tergantung pada perangkat mereka untuk kegiatan sehari-hari.

  3. Kenyamanan dan Keamanan: Banyak individu merasa lebih aman dan nyaman ketika memiliki ponsel mereka. Kehilangan akses dapat memicu perasaan tidak aman.

Dampak Nomophobia

  1. Kesehatan Mental: Studi menunjukkan bahwa nomophobia dapat menyebabkan kecemasan, stres, dan gangguan tidur. Penelitian oleh Thome et al. (2011) menemukan hubungan antara penggunaan ponsel yang berlebihan dengan tingkat stres dan kelelahan mental yang lebih tinggi.

  2. Kinerja Akademik dan Profesional: Ketergantungan berlebihan pada ponsel dapat mengganggu konsentrasi dan produktivitas, yang berdampak negatif pada kinerja akademik dan profesional.

  3. Hubungan Sosial: Ironisnya, meskipun ponsel dirancang untuk meningkatkan komunikasi, ketergantungan berlebihan dapat merusak interaksi tatap muka dan memperburuk kualitas hubungan interpersonal.

Strategi Mengatasi Nomophobia

  1. Pembatasan Penggunaan: Menetapkan batas waktu penggunaan ponsel dan disiplin dalam mematuhinya dapat membantu mengurangi ketergantungan. Misalnya, mengatur waktu bebas ponsel di malam hari untuk meningkatkan kualitas tidur.

  2. Meningkatkan Kesadaran: Pendidikan dan kampanye kesadaran tentang dampak negatif nomophobia dapat membantu individu mengenali tanda-tanda ketergantungan dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya.

  3. Alternatif Aktivitas: Mendorong partisipasi dalam kegiatan offline, seperti olahraga, membaca, atau hobi lainnya, dapat mengurangi ketergantungan pada ponsel.

  4. Dukungan Psikologis: Konseling dan terapi dapat membantu individu mengatasi kecemasan terkait ketergantungan pada ponsel dan mengembangkan strategi koping yang sehat.

Kesimpulan

Nomophobia adalah fenomena yang signifikan di era digital yang memerlukan perhatian serius. Mengatasi nomophobia memerlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk pembatasan penggunaan, peningkatan kesadaran, alternatif aktivitas, dan dukungan psikologis. Dengan strategi yang tepat, individu dapat mengurangi ketergantungan pada ponsel dan meningkatkan kesejahteraan mental dan sosial mereka.

Referensi

  • King, A. L. S., Valena, A. M., & Nardi, A. E. (2010). Nomophobia: The mobile phone in panic disorder with agoraphobia. Cognitive and Behavioral Neurology, 23(1), 52-54.
  • Thome, S., Hrenstam, A., & Hagberg, M. (2011). Mobile phone use and stress, sleep disturbances, and symptoms of depression among young adults -- a prospective cohort study. BMC Public Health, 11(1), 66

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun