Mohon tunggu...
Abdillah
Abdillah Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

-

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pagi Penuh Tantangan

10 Juni 2024   14:26 Diperbarui: 10 Juni 2024   14:38 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Bab 1: Awal yang Menantang

Suasana pagi itu terasa begitu tenang. Matahari baru saja terbit, menciptakan bayangan panjang di koridor kampus. Rina, seorang mahasiswi semester tiga jurusan Teknik Sipil, berlari kecil menuju gedung D, tempat kelas Struktur Beton akan dimulai. Jam di tangannya menunjukkan pukul 06.55, hanya lima menit sebelum kelas dimulai.

Rina tahu dia harus bergegas. Dosen yang mengajar kelas pagi ini terkenal ganas dan tidak toleran terhadap keterlambatan. Pak Haris, begitu namanya disebut dengan rasa takut oleh banyak mahasiswa. Dia dikenal sebagai dosen yang disiplin, tegas, dan tidak segan-segan memberikan hukuman kepada mahasiswa yang melanggar aturannya.

Rina akhirnya tiba di pintu kelas. Nafasnya masih terengah-engah saat dia melihat kursi di barisan kedua masih kosong. Dengan cepat, dia duduk dan merapikan alat tulisnya. Tepat pukul 07.00, Pak Haris masuk ke dalam kelas. Pria berumur 50-an tahun itu memiliki wajah serius dengan alis tebal yang selalu terlihat mengerut.

"Selamat pagi," sapanya tanpa senyuman. Suaranya berat dan penuh wibawa. Semua mahasiswa serentak menjawab, "Selamat pagi, Pak!"

Pak Haris menatap satu per satu wajah mahasiswanya, seakan mencari siapa yang berani melanggar aturan pagi ini. "Hari ini kita akan melanjutkan pembahasan mengenai metode analisis struktur. Saya harap kalian sudah membaca materi yang saya tugaskan minggu lalu."

Rina merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Dia memang sudah membaca materi tersebut, tapi khawatir jika ada pertanyaan yang tidak bisa dia jawab. Pak Haris seringkali memberikan pertanyaan tiba-tiba kepada siapa saja, dan dia tidak suka jawaban yang asal-asalan.

"Tuan Andi," panggil Pak Haris kepada mahasiswa di barisan ketiga. Andi yang baru saja membuka buku catatannya langsung terperanjat. "Coba jelaskan bagaimana metode analisis momen distribusi diterapkan pada struktur portal."

Andi berdiri dengan gugup. "Ehm, metode ini digunakan untuk menghitung momen pada batang-batang struktur portal dengan cara membagi momen yang terjadi pada titik hubung ke batang-batang yang terhubung, sesuai dengan kekakuan masing-masing batang..."

Pak Haris mengangguk kecil, lalu menyela, "Berikan contoh penerapannya dalam perhitungan nyata."

Andi terdiam sejenak, mencoba mengingat materi yang sudah dibacanya. "Misalnya, pada struktur portal tiga tingkat dengan tiga bentang, kita bisa menghitung momen yang terjadi pada masing-masing lantai dan masing-masing bentang dengan membagi momen total sesuai dengan kekakuan batang-batang tersebut."

Pak Haris mengangguk puas. "Bagus, duduklah." Andi tampak lega, sementara mahasiswa lain mencoba mencatat sebanyak mungkin agar tidak terjebak seperti tadi.

Bab 2: Tegang dalam Tugas

Seminggu berlalu sejak kelas pertama bersama Pak Haris. Rina dan teman-temannya semakin terbiasa dengan gaya mengajar dosen mereka yang tegas. Setiap pagi, mereka berusaha untuk datang lebih awal, membaca ulang materi sebelum kelas dimulai, dan selalu siap dengan pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Pada suatu pagi, Pak Haris memberikan tugas kelompok yang harus diselesaikan dalam waktu satu minggu. Tugas ini sangat berat dan membutuhkan kerja sama tim yang solid. Rina tergabung dalam kelompok yang terdiri dari lima orang: dirinya, Andi, Winda, Budi, dan Dedi.

Mereka sering menghabiskan waktu di perpustakaan hingga larut malam, mencoba menyelesaikan tugas dengan sebaik mungkin. Suatu sore, saat mereka sedang berdiskusi, Andi mengusulkan sesuatu yang membuat semua terdiam.

"Bagaimana kalau kita meminta bantuan kepada Kak Rian? Dia kan sudah pernah mengerjakan tugas yang mirip tahun lalu."

Rina menggeleng. "Aku rasa itu bukan ide yang bagus. Kita harus berusaha sendiri. Lagipula, Pak Haris pasti tahu kalau kita curang."

Winda setuju dengan Rina. "Ya, lebih baik kita mencoba yang terbaik. Kalau kita tidak bisa, kita minta bimbingan langsung ke Pak Haris saja."

Akhirnya, mereka sepakat untuk menyelesaikan tugas itu dengan usaha sendiri. Setiap malam, mereka berkumpul, berdiskusi, dan membagi tugas. Rina merasa lelah, tapi dia juga merasa ada sesuatu yang berharga dalam kerja keras ini.

Bab 3: Pembuktian Diri

Hari penyerahan tugas tiba. Rina dan teman-temannya berdiri di depan kelas, mempresentasikan hasil kerja keras mereka. Rasa tegang terlihat di wajah mereka, tapi mereka berusaha tetap tenang. Pak Haris duduk di belakang kelas, mendengarkan dengan seksama.

Saat presentasi selesai, Pak Haris memberikan beberapa pertanyaan yang cukup sulit. Namun, Rina dan teman-temannya berhasil menjawab dengan baik. Pak Haris tersenyum tipis, sesuatu yang jarang terlihat.

"Kerja bagus," katanya singkat. "Saya senang melihat kalian berusaha keras. Teruslah seperti ini."

Rina merasa lega dan bangga. Usaha mereka tidak sia-sia. Meski berat, mereka berhasil membuktikan bahwa mereka bisa. Sejak saat itu, Rina tidak lagi merasa takut dengan Pak Haris. Dia mulai melihat sosok dosennya itu sebagai seorang mentor yang tegas namun adil.

Kisah kuliah di pagi hari dengan dosen yang ganas ini mengajarkan Rina dan teman-temannya tentang pentingnya disiplin, kerja keras, dan keberanian untuk menghadapi tantangan. Mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tapi dengan semangat yang sama, mereka yakin bisa meraih sukses.

Bab 4: Mengenal Lebih Dekat

Beberapa minggu setelah tugas besar itu, Rina dan teman-temannya merasa lebih percaya diri. Mereka mulai terbiasa dengan gaya mengajar Pak Haris yang menantang. Suatu hari, setelah kelas selesai, Rina memberanikan diri untuk mendekati Pak Haris.

"Pak, apakah saya boleh bertanya sesuatu?" tanya Rina dengan ragu.

Pak Haris menatapnya dengan tajam namun penuh perhatian. "Tentu, Rina. Ada apa?"

Rina mengambil napas dalam-dalam. "Saya ingin tahu, apa yang membuat Bapak menjadi dosen yang sangat tegas? Apakah ada alasan khusus di balik semua ini?"

Pak Haris terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Rina, saya percaya bahwa kedisiplinan dan kerja keras adalah kunci sukses. Saya ingin kalian semua siap menghadapi dunia kerja yang keras. Saya tahu metode saya mungkin terlihat ganas, tapi saya hanya ingin kalian menjadi yang terbaik."

Rina mengangguk paham. "Terima kasih, Pak. Saya mengerti sekarang. Saya dan teman-teman akan terus berusaha."

Pak Haris mengangguk puas. "Bagus. Ingat, tidak ada jalan pintas menuju kesuksesan. Semua butuh usaha dan dedikasi."

Bab 5: Menuju Masa Depan

Waktu berlalu, dan semester pun berganti. Rina dan teman-temannya semakin matang dalam menghadapi setiap tantangan. Pelajaran dari Pak Haris menjadi bekal berharga dalam perjalanan akademis mereka. Mereka tahu, meski kadang terasa berat, setiap pagi yang penuh tantangan adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik.

Di akhir semester, Rina dan teman-temannya lulus dengan nilai yang memuaskan. Pak Haris, dengan senyum bangga, memberikan ucapan selamat kepada mereka. Rina merasa bersyukur telah melewati semua itu. Kini, dia siap menghadapi dunia dengan lebih percaya diri.

Perjalanan kuliah di pagi hari dengan dosen yang ganas ini tidak hanya mengajarkan Rina tentang ilmu, tapi juga tentang kehidupan. Dia belajar bahwa setiap tantangan adalah kesempatan untuk tumbuh dan menjadi lebih baik. Dan dengan semangat itu, Rina melangkah menuju masa depan yang cerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun