Mohon tunggu...
Den Saja
Den Saja Mohon Tunggu... Wiraswasta - Truth seeker

Hanya debu di atas debu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dan Hitler-pun berhak mengatakan “Piye Kabare?Iseh Penak Jamanku Toh…?”

2 Mei 2014   07:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:57 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak seberapa lama lagi, kita, negeri ini akan menggelar hajatan akbar limatahunan. Tapi jauh-jauh hari sebelumnya, semua elemen yang terkait dengan hajatan tersebut telah mematok pasak-pasak, mengikat simpul-simpul,mengencangkan kuda-kuda, melalui cara selain menggunakan cara klasik dengan memasang spanduk atau sejenisnya, juga menggunakan media cetak atau pun elektronik sebagai media propaganda, dan bahkan ada yang menggunakan “dunia maya”.

Di sini saya tidak akan mempropagandakan atau mengkampanyekan salah satu golongan tersebut, tapi ada kalimat yang tertera di media kampanye salah satu parpol tertentu yang mengajak kita semua sama-sama merenung terkait dengan pergantian waktu,

“piye kabare? Iseh penak jamanku toh…?”

Renungan pertama, siapapun kita, baik generasi sekarang maupun generasi 10 tahun yang akan datang, pasti selalu merindukan masa lalu, masa kecil contohnya, sepahit apapun pada masa itu, dalam ke-kinian, masa lalu selalu kita rindukan. Hal itu sudah alamiah dan manusiawi.

Renungan kedua, banyak dari kita yang mengatakan, warna musik pada masa lalu lebih bermutu dan berbobot dibandingkan warna musik sekarang. Dan pernyataan itu tidak hanya dalam dunia musik, tapi juga dengan cabang seni lainnya, seperti sinetron contohnya.

“Berapa banyaknya umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, sedangkan mereka amat baikperkakas rumah dan pemandangannya.” (QS.19:74)

Renungan ketiga, para arkelog dunia sepakat, bahwa peradaban atlantis adalah peradaban terunggul yang pernah ada di jagat dan tidak akan bisa terulang sampai kapanpun dan tidak ada peradaban manapun yang bisa menyamai atau menandinginya. Mereka orang-orang atlantis tidak perlu mengekploitasi alam berlebihan hanya sekedar untuk mendapatkan bahan bakar maupun sumber energi. Dengan cukup menggunakan Kristal hitam, mesin dan lampu-lampu sudah dapat mereka nyalakan, juga cukup dengan telepati, mereka tidak membutuhkan ponsel untuk saling berkomunikasi dan banyak lagi kecanggihan teknologi lain yang mereka miliki.

“…Mereka itu lebih kuat dari mereka (ini) dan mereka itu menggarap tanah (bertani) dan memakmurkannya lebih banyak dari apa yang mereka (ini) makmurkan…” (QS.30:9)

Maka coba pejamkanlah mata sejenak, bayangkan anda adalah manusia masa depan, katakanlah anda hidup di masa 100 tahun yang akan datang, maka kerinduan akan masa lalu akan tetap ada, dan ayat-ayat suci yang tertera diatas itu, 10 tahun yang lalu, atau di baca 100 tahun yang akan datang redaksinya tetap seperti itu.

Maka dalam memasuki dimensi waktu, alangkah tidak bijaknya jika hanya bersuka ria, apalagi berbangga diri atas pencapaian hidup yang telah kita peroleh saat ini, karena setiap jaman ada masanya sendiri, dan Hitler pun berhak mengatakan, “piyekabare? Iseh penak jamanku toh…?

Selamat malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun