Citra Perusahaan Leasing hampir sama dengan Perusahaan Fintech P2P Lending, kerap dibenci oleh (sebagian) masyarakat namun tidak sedikit pula yang membutuhkan jasanya. Leasing atau Multifinance atau biasa disebut Perusahaan Pembiayaan bagi masyarakat kerap identik dengan unsur premanisme atau tindak kekerasan. Masyarakat ramai-ramai menghujat bila perusahaan leasing melakukan tindakan eksekusi agunan, seolah eksekusi agunan itu merupakan tindakan yang sadis atau ekstrim, seakan lupa konsekuensinya saat awal pengajuan kredit atau pinjaman. Padahal bisnis leasing itu merupakan bisnis yang highly regulated, artinya hampir tidak ada ruang gerak bisnis leasing yang tidak memiliki regulasi, baik itu regulasi dari Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kemenkumham bahkan dari PPATK. Namun porsi pengawasan terbesar terhadap leasing berada di tangan OJK. Sekarang mari kita fokus membahas dari Peraturan OJK Nomor 35 tahun 2018 terkait penyelenggaraan perusahaan leasing.
Aktivitas leasing yang paling mencolok di masyarakat adalah aktivitas penagihan dan eksekusi agunan, yang mana pada umumnya adalah kendaraan mobil atau sepeda motor. Pada POJK 35 aktivitas penagihan hingga eksekusi agunan telah diatur dalam pasal 47 hingga pasal 52. Artinya ada 6 pasal yang diatur oleh OJK soal penagihan dan eksekusi agunan bagi leasing. Penulis coba membagi ke enam pasal tersebut menjadi 3 bagian yakni, aturan penagihan, eksekusi agunan dan penjualan agunan.
Aturan Penagihan
Dalam pasal 47 ayat 1 berbunyi: Dalam hal Debitur wanprestasi Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan penagihan, paling sedikit dengan memberikan surat peringatan sesuai dengan jangka waktu dalam perjanjian pembiayaan.Â
Disini sudah jelas bahwa bila menunggak pembayaran, maka debitur atau nasabah akan diberi peringatan oleh leasing.
Dalam pasal 48, OJK memperbolehkan leasing menggunakan jasa pihak ketiga atau pihak lain diluar leasing untuk melakukan aktivitas penagihan kepada debitur atau nasabahnya, namun dengan syarat sebagai berikut:
- Leasing dan pihak ketiga yang melakukan penagihan kepada debitur atau nasabah harus memiliki perjanjian kerjasama tertulis bermaterai
- Pihak ketiga yang bekerjasama dengan leasing tersebut harus berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi berwenang
- Pegawai pihak ketiga yang melakukan penagihan harus memiliki sertifikasi bidang penagihan dari Lembaga sertifikasi profesi leasing.
- Leasing harus bertanggung jawab penuh atas dampak dari kerjasama dengan pihak ketiga tersebut
- Leasing harus melakukan evaluasi berkala atas kerjasama dengan pihak ketiga tersebut
Artinya setiap petugas penagihan atau kolektor atau debt collector harus tersertifikasi profesi penagihan dari lembaga sertifikasi leasing, yang mana dalam hal ini adalah Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia. Selain itu juga, dalam pasal 49 juga diwajibkan oleh OJKÂ bahwa leasing harus memiliki pedoman internal perihal eksekusi agunan baik itu misalnya motor, mobil dan lainnya.
Aturan Eksekusi Agunan
Dalam pasal 50, OJK mewajibkan leasing melakukan eksekusi agunan dengan beberapa ketentuan sebagai berikut:
- Debitur atau nasabah tersebut telah menunggak pembayaran
- Debitur atau nasabah sudah diberikan surat peringatan
- Dalam hal agunannya kendaraan mobil dan sepeda motor, maka leasing harus memiliki sertifikat fidusia dan melaksanakan sesuai ketentuan Undang Undang Fidusia.
Hal ini berarti apabila salah satu poin ketentuan diatas tidak terpenuhi, maka leasing TIDAK BOLEH melakukan eksekusi agunan. Dalam hal leasing telah memenuhi seluruh poin ketentuan diatas, maka proses eksekusi agunan wajib dituangkan dalam berita acara eksekusi agunan.
Hal yang terpenting yang harus diketahui masyarakat adalah terkait pasal 50 ayat 4 bahwa dalam hal terjadinya eksekusi agunan, maka leasing berkewajiban menjelaskan kepada debitur atau nasabah perihal:
- Outstanding pokok hutang
- Bunga yang terutang
- Denda yang terutang
- Biaya eksekusi agunan
- Mekanisme penjualan agunan apabila debitur tidak menyelesaikan pembayarannya atau kewajiban.
Masyarakat harus memastikan kelima poin diatas harus diinformasikan oleh pihak leasing
Aturan Penjualan Agunan
Dalam pasal 51 diatur bahwa jika dalam jangka waktu tertentu sejak eksekusi agunan dilakukan debitur atau nasabah tidak dapat menyelesaikan pembayaran atau kewajibannya, maka ada dua cara yang dilakukan leasing yaitu:
- Menjual agunan melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan agunan tersebut.
- Menjual agunan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan harga leasing dan Debitur sebelum agunan dijual. Hal ini dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh leasing kepada Debitur dan diumumkan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah tersebut.
Dalam pasal 52 disebutkan pula bahwa jika hasil penjualan agunan terdapat kelebihan, maka leasing wajib mengembalikannya kepada debitur atau nasabah dalam jangka waktu yang disepakati pada perjanjian. Contoh misalnya, seluruh kewajiban debitur pada leasing sejumlah 5 juta Rupiah dan hasil penjualan agunan sejumlah 6 juta Rupiah, maka kelebihan atau sisa 1 juta tersebut wajib diberikan leasing kepada debitur atau nasabah tersebut.
Demikian diharapkan melalui tulisan ini dapat menambah tingkat literasi pembaca. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H