Cerpen: PEMUDA GILA PADA SEBUAH TIKUNGAN
Dua tahun berlalu. Warung kecilku ini kian sepi. Tak ada lagi sepeda motor parkir berderet. Tak ada lagi pelanggan terbahak, pun merepet. Bangku-bangku lelah bukan karena menahan pantat-pantat yang menempel rapat. Bangku-bangku lelah menahan diri untuk ambruk ke tanah karena tiadalah gunanya ia tetap tegak.
Pandemi, kata orang-orang, telah merampok penghasilanku. Orang-orang tak lagi boleh duduk berdekatan, apalagi berdesakan di warung kecilku. Bicara tak lagi dapat lepas, terbatas masker. Jika terlalu banyak bicara, tak sanggup pula hidung menghirup aroma mulut yang lebih sering tak sedap daripada segar layaknya usai sikat gigi.Â
Aku tak sanggup sediakan aneka lauk, sayur, dan hidangan kecil lainnya. Awal pandemi tetap kusiapkan hidangan dalam jumlah besar. Rugi besar! Secuil saja yang laku. Selebihnya terpaksa kubuang setelah berkali-kali kupanaskan agar tak basi.Â
Matahari kian terik, seorang lelaki, anggota Satpol PP datang. Â Dialah satu-satunya pelanggan tetap di warungku. Dulu dia selalu datang bersama anggota lainnya. Membentak-bentak, memukuli meja dan kursi warung, menyuruhku tutup dan membongkar warung kecilku ini. Disuruhnya aku pindah jualan. Warungku bikin macet tepat di tikungan. Utamanya malam hari. Membahayakan! Â Begitu teriak mereka setiap datang.
Mereka juga ribut, ada pemuda gila yang kerap mengamuk jika kulupa memberinya makan atau sesuatu mengganggunya. Pengendara yang lewat terpaksa berhenti dan akhirnya jalan macet. Ah, tidak. Bukan terpaksa berhenti. Tepatnya, mereka sengaja menonton dan merekam pemuda gila yang ngamuk itu. Mereka tak peduli melihatku kesulitan menenangkan pemuda itu.Â
Aku sengaja tak mengusir pemuda gila itu. Ada sesuatu darinya yang membuatku tak hendak mengusir. Sesuatu, yang menyelamatkan hidupku.Â
Lelaki anggota Satpol PP tak kenakan masker. Ia tersenyum. Senyum yang sama setiap datang. Senyum yang membuat keringatku mengucur deras. Ia duduk rapat di sebelahku. Tangannya menempel pada pundakku. Badannya turut merapat. Aku coba menjauh. Ditariknya bahuku. Tubuhku gemetar.Â
Kepalanya menghadap ke sudut kanan depan warung. Wajahnya mengernyit.
"Mengapa kau biarkan si gila bau busuk itu duduk di situ?!" bentaknya kesal.
Aku tak menjawab. Pemuda gila itu berdiri. Ia mengeluarkan suara seperti suara geraman. Wajahnya memerah. Perlahan, ia bergerak ke arahku. Tangan si anggota Satpol PP menjauh dari bahuku. Ia berdiri. Pemuda gila terus mendekat. Lelaki di sebelahku menjauh.Â
"Dasar orang gila!" maki si anggota Satpol PP.
Pemuda gila itu, pelindungku dari lelaki semacam anggota Satpol PP ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H