"Kapan kau memberi jawaban? Tiga minggu yang kau minta telah lewat. Jawablah!" pintamu sore ini.
Aku hanya menunduk, tak berkata apa-apa. Kudengar denting gelas beradu dengan sendok cukup keras. Engkau berkali-kali mengaduk es jeruk yang tinggal separuh. Jari telunjuk kirimu mengetuk-ngetuk meja, kadang pelan kadang cepat tanpa irama yang jelas.
"Nik, lihat aku!" bentakmu.Â
Bentakan yang selalu muncul saat aku tak segera menjawab pertanyaan atau karena sesuatu yang tak sesuai keinginanmu. Aku mencoba berkata-kata namun suaraku tercekat. Aku tahu tak ada gunanya menunda jawaban, tapi aku takut.
Engkau mengulang kembali bahwa kita telah empat tahun pacaran. Suaramu lantang, nada bicaramu kian tinggi. Wajahmu memerah, tanganmu mengepal. Tiba-tiba kau gebrak meja. Aku terlonjak. Bulan ini entah berapa kali kau pukul meja tak bersalah.
Tak ada lagi yang perlu kuragukan. Aku sudah yakin.
"Tenanglah, aku akan memberi jawaban," kataku gemetar.Â
"Maaf membuatmu menunggu lama. Aku...tak dapat hidup bersamamu," lanjutku perlahan.
"Mengapa?!" tanyamu lantang.
"Karena engkau mencintai dia," jawabku.
Engkau bersikeras tak mencintai siapa pun selain diriku. Sekali lagi kukatakan bahwa engkau lebih mencintai dia.
"Dia siapa?!" tanyamu berang.
"Dia..Vio..."
"Aku tak kenal Viona, Violin atau perempuan lain bernama seperti itu!" potongmu sambil menarik pergelangan tanganku dengan kasar.
Kutarik tanganku hingga lepas dari genggamanmu dan kukatakan dengan tegas, "Aku tak mau menikah denganmu karena engkau mencintai VIOLENCE!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H