Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta akhirnya menolak gugatan terhadap Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi.
Instruksi tersebut melarang warga non-pribumi memiliki hak milik atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan kerap berlaku ke warga keturunan Tionghoa.
Sebelumnya, seorang warga yang bernama Handoko, advokat yang juga warga keturunan Tionghoa menggugat peraturan tersebut.
Ia menggugat Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X dan Kepala Kanwil BPN DIY karena dianggap melanggar Inpres Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi, Pasal 28 I [2] UUD 1945 Amandemen Keempat, dan Pasal 21 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Gugatan dengan dalih anti-diskriminasi Handoko tersebut sebenarnya tidak memperhatikan aturan Keistimewaan di Yogyakarta yang telag sesuai dengan UUD 1945 pasal 18 (b) ayat 1 dan 2 tentang Daerah Khusus dan Istimewa, yang kemudian disebut UU Keistimewaan DIY.
DIY memang memiliki regulasi khusus yang membatasi WNI non-pribumi dalam penguasaan tanah sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang ditegaskan dalam instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 terkait larangan kepemilikan Hak atas tanah bagi warga non-pribumi.
Larangan itu tidak terbatas pada satu golongan etnis saja, seperti etnis tionghoa. Namun sebenarnya itu tertuju kepada semua warga non pribumi lainnya.
Dalam sejarahnya, semangat pembatasan kepemilikan tanah tersebut terkait dengan status tanah di Yogyakarta yang semuanya milik Kraton. Selain itu juga untuk memberikan perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang lemah yaitu WNI pribumi.
Tujuan adanya pembatasan itu untuk mencegah adanya kesenjangan dalam penguasaan tanah antar kelompok dalam masyarakat.
Dengan demikian, aturan hukum di atas tidak mengarah kepada diskriminasi yang merugikan seperti yang dianggap seperti saat ini. Sebaliknya, instruksi tersebut justru mengarah pada diskriminasi yang positif.
Diskriminasi positif itu diakui dalam perundang-undangan di Indonesia, dalam rangka mewujudkan keseimbangan kepemilikan tanah yang selama ini timpang.