Berpikir bahwa pidato politik Anies pada hari pelantikannya yang kini menjadi polemik, dipandang dalam konteks  masa lalu (penjajahan) adalah keliru!  Karena jika jargon tersebut "berdiri sendiri" tanpa ada isu  SARA yang mendahului proses pilkada DKI Jakarta, mungkin kita bisa mencoba untuk berpikir netral tanpa syak wasangka.
Namun isu pribumi yang tercetus itu tidak berdiri sendiri! Â Dengan kemuculan spanduk yang membentang di Balai Kota menjelang pelantikan Anies-Sandi , bahkan adanya partai baru dengan nama yang sama dan mengusung jargon yang sama yaitu "saatnya Pribumi jadi tuan rumah dinegeri sendiri", setidaknya kita punya alasan untuk menghawatirkan bahwa isu ini akan diulang kembali dijadikan amunisi untuk Pilpres 2019.
Sangat memprhatinkan jika isu ini dipergunakan kembali semata untuk meraih kemenangan kekuasaan tertinggi di Republik ini. Â Harga yang harus dibayar terlalu besar, sekat di masyarakat semain tebal, bagai membuka luka lama yang belum sempat disembuhkan. Atau istilah generasi milenial gagal move on.
Bagi saya, pidato pilitik Anies merupakan pembukaan tanda dimulainya kampanye Pemilu Presiden yang tinggal menghitung bulan. Â Tensi politik akan terus memanas hingga Pilpres 2019, bahkan sesudahnya. Masyarakat akan disibukkan dengan polarisasi tanpa henti, sebagaiman yang pernah terjadi dalam Pemilu 2014 lalu. Â
Seakan kita tidak belajar dari sejarah dan bisa dikatakan sejarah terus terulang.  Dahulu Belanda berhasil memecah belah bangsa ini dengan politik Devide Et Impera nya.  Ternyata  efek dari"racun dikuku yang tertancap" ditubuh bangsa ini tetap membekas meski usianya sudah ratusan tahun. Dulu kita diadu, sekarang kita mengadu diri sendiri.
Sampai kapan isu SARA ini akan berhenti. Mungkin sampai kita semua bosan, setelah ada peristiwa besar yang menyadarkan kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H