Belakangan ini kita dihadapkan oleh hal-hal yang memicu untuk memungkinkan sesuatu hal pada ruang ketidakmungkinan tanpa menelaah dari berbagai sudut dengan mempertimbangkan dari bidang ilmu yang kita kuasai, secara jujur dan tepat, kemudian hanya menjadi penerima dari suatu sumber informasi yang tidak pasti sumber dan kredibilitasnya yang dianggap benar, kemudian membenarkan sesuatu sesuai dengan paham yang dianut, karena dirasa akan mewujudkan keamanan, ketenangan, kemakmuran bahkan keadilan bagi dirinya kemudian dipaparkan kepada publik menurut jangakuanya.
Secara tidak langsung konsep etnosentrime masuk didalam hal ini. Taylor, Peplau dan Sears (2000) menyatakan bahwa etnosentrisme mengacu pada suatu kepercayaan bahwa in group nya lebih baik atau superior dari pada out group.
Hal ini dapat mempengaruhi evaluasi yang dilakukan anggota kelompok tersebut sebagai individu. Etnosentrisme ini melibatkan atribusi internal dan eksternal yang menciptakan jurang pemisah dengan kebudayaan bahkan individu lain, sehingga tidak memungkinkan terjadinya komunikasi dan kontak sosial yang harmonis.
Pertanyaan yang muncul adalah, "bagaimana mengetahui bahwa kepercayaan atau golongan yang dianggap benar itu memang benar adanya? apakah benar itu harus bijak? Apakah benar atau tidak tergantung pada senang atau tidaknya diri kita?".
Apabila merujuk pada teori Freud yang menjelaskan tentang Id, ego dan superego id berlaku seperti penguasa absolut, harus dihormati, manja, sewenang-wenang, dan mementingkan diri sendiri, kemudian yang diinginkannya harus segera terlaksana.
Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya kebutuhan: makan, seks, kekuasaan, harta, menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Menurut Freud, Id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas.
Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan (Minderop, 2010). Ego apabila diibaratkan dalam tatanan negara diwujudkan dalam bentuk menteri yang diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala pekerjaan yang terhubung dengan realitas dan tanggap terhadap keinginan masyarakat.
Superego, ibaratnya seorang pemuka agama yang selalu penuh pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan  Id yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak.
Padahal di Indonesia sendiri kita terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan banyak hal yang berbeda, apabila setiap dari warga negara menuntut untuk adil dan sejahtera secara sosial dan ekonomi, kemudian perwujudan "adil itu untuk siapa? adil versi siapa?".
Inilah yang seharusnya menjadi renungan masyarakat Indonesia di tengah pergejolakan perebutan kekuasaan. Sikap kita sebagai warga negara seharusnya memantau kemudian menganalisis setiap permasalahan sesuai dengan jangkauan pengetahuan, pemahaman secara sosial secara jujur dan tepat, langkah selanjutnya adalah diwujudkan dengan sikap dan perilaku tanpa melakukan provokasi yang menunjukan bahwa rangkuman analisisnya adalah paling benar.
Dalam interaksi sosial bermasyarakat, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek yang dihadapinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (1998) adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosi dalam diri individu.