Mohon tunggu...
Demanda Bima
Demanda Bima Mohon Tunggu... Seniman - rwa bhineda

rwa bhineda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Etnosentrisme Indonesia 2019

21 April 2019   04:48 Diperbarui: 21 April 2019   04:54 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini kita dihadapkan oleh hal-hal yang memicu untuk memungkinkan sesuatu hal pada ruang ketidakmungkinan tanpa menelaah dari berbagai sudut dengan mempertimbangkan dari bidang ilmu yang kita kuasai, secara jujur dan tepat, kemudian hanya menjadi penerima dari suatu sumber informasi yang tidak pasti sumber dan kredibilitasnya yang dianggap benar, kemudian membenarkan sesuatu sesuai dengan paham yang dianut, karena dirasa akan mewujudkan keamanan, ketenangan, kemakmuran bahkan keadilan bagi dirinya kemudian dipaparkan kepada publik menurut jangakuanya.

Secara tidak langsung konsep etnosentrime masuk didalam hal ini. Taylor, Peplau dan Sears (2000) menyatakan bahwa etnosentrisme mengacu pada suatu kepercayaan bahwa in group nya lebih baik atau superior dari pada out group.

Hal ini dapat mempengaruhi evaluasi yang dilakukan anggota kelompok tersebut sebagai individu. Etnosentrisme ini melibatkan atribusi internal dan eksternal yang menciptakan jurang pemisah dengan kebudayaan bahkan individu lain, sehingga tidak memungkinkan terjadinya komunikasi dan kontak sosial yang harmonis.

Pertanyaan yang muncul adalah, "bagaimana mengetahui bahwa kepercayaan atau golongan yang dianggap benar itu memang benar adanya? apakah benar itu harus bijak? Apakah benar atau tidak tergantung pada senang atau tidaknya diri kita?".

Apabila merujuk pada teori Freud yang menjelaskan tentang Id, ego dan superego id berlaku seperti penguasa absolut, harus dihormati, manja, sewenang-wenang, dan mementingkan diri sendiri, kemudian yang diinginkannya harus segera terlaksana.

Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya kebutuhan: makan, seks, kekuasaan, harta, menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Menurut Freud, Id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas.

Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan (Minderop, 2010). Ego apabila diibaratkan dalam tatanan negara diwujudkan dalam bentuk menteri yang diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala pekerjaan yang terhubung dengan realitas dan tanggap terhadap keinginan masyarakat.

Superego, ibaratnya seorang pemuka agama yang selalu penuh pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan  Id yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak.

Padahal di Indonesia sendiri kita terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan banyak hal yang berbeda, apabila setiap dari warga negara menuntut untuk adil dan sejahtera secara sosial dan ekonomi, kemudian perwujudan "adil itu untuk siapa? adil versi siapa?".

Inilah yang seharusnya menjadi renungan masyarakat Indonesia di tengah pergejolakan perebutan kekuasaan. Sikap kita sebagai warga negara seharusnya memantau kemudian menganalisis setiap permasalahan sesuai dengan jangkauan pengetahuan, pemahaman secara sosial secara jujur dan tepat, langkah selanjutnya adalah diwujudkan dengan sikap dan perilaku tanpa melakukan provokasi yang menunjukan bahwa rangkuman analisisnya adalah paling benar.

Dalam interaksi sosial bermasyarakat, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek yang dihadapinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (1998) adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosi dalam diri individu.

Perbedaan dalam berbagai hal tidak harus membuat kita terpecah bahkan sampai diwujudkan dalam perkelahian. Karena mau tidak mau kita seharusnya sadar sebagian dari masyarakat masih fokus hanya dengan berteori atau bahkan anti-teori dimana hal itu tidaklah baik, apabila berteori saja kita akan melakukan masturbasi pemikiran tanpa aksi, dan anti-teori akan mempraktikan sesuatu tanpa panduan yang jelas.

Langkah yang baik adalah menyeimbangkan keduanya, sayangnya hal tersebut tidak didukung oleh minat baca, rendahnya minat baca bagi masyarakat Indonesia adalah rahasia umum yang telah diketahui bersama.

Apabila disodorkan antara gadget atau buku, masyarakat akan lebih memilih gadget sebagai sarana untuk menghabiskan waktu.

Baik media cetak maupun elektronik ketika membahas mengenai budaya baca di Indonesia akan selalu menyelipkan hasil survei yang menyebutkan bahwa masyarakat kita bukan lah masyarakat yang gemar membaca.

Survei ini bahkan diperkuat dengan hasil penelitian terakhir dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya sekitar 0,001. Itu artinya hanya ada satu orang yang minat membaca dalam seribu orang masyarakat Indonesia (Liputan6.com, 2017).

Kemudian hal itu didukung juga oleh sistem pendidikan yang mengharuskan menjadi kompetitif bukan malah kolaboratif, yang dimaksud adalah bersaing dan menjadi takut untuk terlampaui apabila kita menstransfer ilmu kepada seseorang di tempat pendidikan formal atau bahkan pada "diskusi kopi" dan menjadikan potensi seseorang tersebut lebih tinggi dan baik dari kita sendiri.

Seharusnya dan langkah yang dianggap bijak adalah membiarkan Indonesia berjalan sebagaimana mestinya, kita hanya pion apabila diibaratkan dalam permainan papan catur yang hanya berusaha berjalan maju dengan saling mengamankan satu sama lain.

Sumber Pustaka

Al Qurtuby, Sumanto. (2017). Meningkatkan Budaya Baca dan Literasi Masyarakat Indonesia. Diakses melalui www.liputan6.com. (Artikel internet)
Azwar, Saifuddin. (1998). Metode penelitian. Yogyakarta. Pustaka pelajar.
Minderop, Albertine. (2010). Psikologi Sastra. Karya sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Peplau, L.A., Sears, D.O. Taylor, E.S. (2000). Social Psychology. New Delhi: PrenticeHall International, Inc.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun